Lihat ke Halaman Asli

salwaapnst

Mahasiswi Ilmu Perpustakaan, UINSU MEDAN

Literasi Media dalam Mengatasi Konflik Agama di Indonesia

Diperbarui: 7 Agustus 2020   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Abstrak

Dilihat dari kejadian-kejadian tahun lalu, dengan salah satu contoh tepatnya pada tahun 2017 pada saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tanggal 15 Februari. Terjadi konflik yang menyebabkan persoalan tentang agama. Dimana, pada saat itu juga menyebabkan aksi demo yang dilakukan oleh banyaknya masyarakat yang memenuhi jalanan. Tujuan dibuatnya artikel ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang literasi khususnya dalam bidang agama yang saat ini jarang diketahui oleh masyarakat umum. Dan dari kasus yang ada tersebut bermula dari media sosial, sehingga penggunaan media sosial saat ini dikawal oleh pemerintah melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

A. PENDAHULUAN

Menurut Kornblurn (2015: 393), konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial politik. Konflik menjadi bagian yang tidak bisa dihindari dari proses interaksi sosial terutama dalam masyarakat plural seperti di Indonesia. Dalam melakukan pencegahan konflik, maka langkah pertama yang harus segera diambil adalah melakukan penilaian objektif terhadap penyebab konflik.

Terdapat dua jenis konflik yaitu konflik horizontal dan vertikal. Konflik horizontal mengacu pada konflik yang terjadi antara dua atau lebih kelompok budaya atau agama yang berbeda. Sedangkan konflik vertikal mengacu pada konflik yang terjadi antara pemerintah dan kelompok budaya atau agama tertentu (Sukma, 2005: 3). Dilihat dari situasi sosial yang ada di Indonesia, konflik horizontal mengalami peningkatan semenjak masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang berlangsung pada tanggal 15 Februari 2017. 

Pasalnya, Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta menjadi fenomena politik yang memicu  konflik horizontal di tengah masyarakat. Hal ini disebabkan oleh tiga hal.  Pertama,  kuantitas pemberitaan Pilgub DKI Jakarta yang yang mendominasi pemberitaan di media massa. Seringnya kemunculan pemberitaan tentang Pilgub DKI Jakarta yang mendominasi media massa mulai terlihat pada bulan Oktober 2016. Komunikasi Indonesia Indicator mencatat bahwa selama bulan November 2016, pemberitaan Pilkada sebanyak 52.773 dari 818 media berita online. Namun pemberitaan Pilkada DKI Jakarta mencapai 58% dan 43% merupakan pemberitaan di 100 wilayah lainnya (Fahrudin, nasional.kompas.com, 2 Desember 2016).  

Menurut riset yang yang dilakukan oleh Isentia (Prihadi, cnnindonesia.com, 27 Maret 2017) terhadap media massa tradisional maupun media sosial, terdapat 259.382 perbincangan di media sosial dan 7.165 artikel di media massa tradisional mengenai Pilgub DKI Jakarta. Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) lebih sering diperbincangkan di media online dan media massa tradisional daripada pasangan calon Anies Baswedan. Cara berkampanye program kerja yang disampaikan kepada masyarakat, debat politik yang dilakukan kandidat di televisi dan dukungan yang mengalir dari kelompok pendukung masing-masing kandidat menjadi perbincangan seru di kalangan netizen. Terbukti dengan banyaknya meme yang beredar di dunia maya pada masa Pilkada tahun 2017.

Kedua, kualitas  isi pemberitaan mengenai Pilgub DKI Jakarta yang tidak menerapkan prinsip jurnalisme damai dan rendahnya literasi media yang dimiliki oleh masyarakat dalam menggunakan media sosial untuk mennyampaikan pendapatnya. Santosa (2017: 205) menjelaskan bahwa isi pemberitaan Pilkada ini menjadi makin "panas" karena salah satu calon gubernur yaitu Ahok dilaporkan oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) terkait pernyataan Ahok yang dianggap melecehkan agama Islam. Masyarakat khususnya umat Islam ikut serta menyuarakan pendapatnya baik melalui media sosial serta aksi damai turun ke jalan menuntut Ahok untuk diproses secara hukum. Di sisi lain, massa pro Ahok pun juga melakukan "perlawanan" dengan melakukan aksi serupa dengan tema yang berbeda.

Pembicaraan tentang Pilgub di Jakarta, tidak hanya banyak muncul di media massa saja, tetapi muncul di media sosial juga. Akibatnya, media sosial ramai dengan pembahasan mengenai pendapat dan persepsi para pengguna terhadap para calon Gubernur. Ditambah dengan kemunculan video yang beredar luas mengenai perkataan Ahok, membuat dirinya banyak diserang serta dihujat karena kebijakan penggusuran yang dilakukan untuk penataan wilayah dan ucapannya yang menyinggung umat islam.

            Akibatnya, banyak pihak yang saling menyerang satu sama lain karena memiliki perbedaan pendapat dan juga berbeda pilihan dalam memilih calon Gubenur untuk Jakarta, dan menganggap bahwa pasangan calon Gubernurnya adalah yang terbaik untuk memimpin Jakarta. Dan maraknya berita yang menyebar di media sosial yang belum tentu kebenarannya, dan langsung diterima oleh para pengguna media tanpa tau akan keaslian dari berita tersebut atau tidak. Tentu saja hal ini akan menimbulkan efek negatif  jika masyarakat atau pengguna media sosial belum memiliki kemampuan literasi media yang baik.

B. PEMBAHASAN

  • Pengertian Literasi Media
  • Literasi 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline