Lihat ke Halaman Asli

Nasha UJ

Full-Time Learner

Pengalaman Muslim Minoritas: Berbeda, tapi Tetap Saudara

Diperbarui: 25 Desember 2022   06:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kutipan dari kemenag.go.id, Edited by Canva

Pada hari saat banyak teman-temanku bersuka cita ini, aku ingin membagikan sepotong cerita tentang sembilan tahun pendidikan yang kuhabiskan bersama mereka. 

Masa yang indah kukenang karena pengalaman dan pekaharan yang aku dapatkan sebagai murid minoritas di sekolah. Cerita ini juga kubagi di blog pribadiku disini

Mengutip ucapan Ali Bin Abi Thalib, "sesungguhnya manusia itu ada dua tipe: Jika dia bukan saudaramu seagama, dia saudaramu dalam kemanusiaan" aku jadi teringat tentang teman-temanku yangs edang ber'lebaran' hari ini, mereka yang menemaniku dan memberi warna tersendiri dalam masa sekolahku dulu.

Aku hidup di kota dimana muslim adalah agama mayoritas, namun orang tuaku memutuskan agar aku bersekolah di salah satu yayasan non muslim saat itu. 

Keputusan dan keberanian yang kukagumi sampai sekarang. Karena aku bisa membayangkan bahwa itu bukan hal yang mudah, ditambah dengan komentar dan pendapat orang lain. Tapi orang tua ku bisa yakin dan tetap maju, serta menjawab segala keraguan, ketakutan yang orang lain kemukakan. Toh, aku tetap muslim, aku juga diikutkan kelas mengaji setiap hari di masjid. Sama seperti anak lainnya. 

Pertimbangan kedua orangtuaku sederhana sebenarnya. Saat itu, sekolah itu adalah salah satu sekolah terbaik yang menjadi pilihan. Pilihan yang membuatku mendapat banyak pengalaman tentang perbedaan. 

Ini Pengalamanku

Selama bersekolah di yayasan tersebut, aku tetap mendapat pelajaran agama sesuai dengan agamaku. Kami yang muslim di beberapa kelas yang setara akan berangkat ke ruangan berbeda untuk menerima pejaran dari guru agama islam. Standar dua jam mata pelajaran seminggu, sama banyaknya dengan anak-anak lain dan sekolah-sekolah lain. 

  • Sholat

Untuk ibadah wajib selama jam pelajaran juga tidak sulit, aku bisa sholat zuhur saat istirahat siang di mushola yang tidak jauh dari sekolah. Ada satu kejadian yang masih aku ingat hingga kini. Saat itu hari jumat, kewajiban bagi laki-laki untuk pergi ke masjid melaksanakan sholat jumat. Seorang guru kemudian bertanya pada anak laki-laki yang ia temui, kenapa tidak berangkat ke masjid. Rupanya ia ragu pergi karena lupa membawa sandal, akhirnya guru tersebut meminjamkan sendalnya agar anak tadi bisa berangkat ke masjid melaksanakan sholat jumat. Hal sederhana tapi menyentuh untukku. 

Saat 'terpaksa' sholat di dalam kelas pun, tidak pernah sekalipun temanku dulu yang mengganggu ataupun merasa terusik. Malah sedihnya, aku justru diganggu oleh teman seagamaku sendiri saat SMA. Aku tidak akan menyamaratakan, namun itu hal yang aku alami dan perbuatan seperti ini memang kembali ke individu masing-masing.

  • Berpuasa

Selama sembilan tahun sekolah tersebut, ada tahun-tahun dimana aku menjalankan ibadah Ramadhan dengan tetap bersekolah seperti biasa dan ada pula yang ikut kegiatan keagamaan bernama pesantren kilat. Jadi di kotaku, aku lupa sejak tahun berapa, ada keputusan walikota agar setiap Ramadhan kegiatan sekolah digantikan dengan full kegiatan keagamaan di tempat ibadah masing-masing. Kami yang muslim wajib ikut pesantren kilat di masjid sekitar rumah masing-masing. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline