Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

820 Juta Orang Kelaparan Akibat Sistem Pangan yang Salah

Diperbarui: 17 Oktober 2019   07:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebijakan pangan yang tidak efisien dan mahal menghalangi terbentuknya stok pangan dunia yang memadai (doc. La Stampa/ed.Wahyuni)

Ada sepertiga makanan di dunia terbuang sia-sia karena berbagai faktor, namun pemerintah berbagai negara dan pelaku lain dalam sistem pangan tidak dapat menangani 820 juta orang yang secara reguler menderita kelaparan (Nature.com, 16 Oktober 2019).

Hal tersebut terjadi karena kebijakan-kebijakan pangan yang diberlakukan saat ini sangat tidak efisien dan mahal. Banyak biaya-biaya tersembunyi yang harus dikeluarkan pemerintah dan warga dunia akibat kebijakan politis maupun bisnis yang salah kaprah. Jadi bukannya mendukung ketersediaan pangan yang mencukupi penduduk, namun alokasi anggaran yang ada malah habis untuk membayar dampak lanjutan dari kebijakan keliru itu.

Industri makanan secara khusus, sebagaimana dilansir oleh Nature.com, juga memikul tanggung jawab atas fakta bahwa 680 juta orang mengalami obesitas yang menyebabkan pemerintah dan warga harus menanggung sebagian besar biaya perawatan pasien-pasien yang terpapar penyakit terkait kegemukan berlebih itu.

Sama halnya ketika pertanian berskala industri menyedot banyak air untuk mengairi lahan-lahannya, maka para pembayar pajak harus bersiap-siap untuk membayar biaya penanggulangan akibat penyusutan debit air yang kelak mungkin akan terjadi.

Begitu pula untuk penerapan agrokimia dan pengaruhnya terhadap kesehatan manusia dan ekosistem. Pemerintah negara-negara di dunia harus siap memikul biaya hilangnya keanekaragaman hayati dan memangkas kontribusi pertanian untuk emisi gas rumah kaca.

Tragedi di jantung sistem pangan dunia sedemikianlah yang mewarnai peringatan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada Rabu (16/10) lalu dan penyebabnya terutama disebabkan oleh kebijakan pemerintahan-pemerintahan di dunia, para produsen makanan, serta pelaku agribisnis.

Biaya-biaya tersembunyi yang harus dipenuhi akibat kebijakan-kebijakan pangan yang tidak tepat, menurut laporan kunci yang dikeluarkan oleh sebuah institusi, diperkirakan mencapai USD 12 triliun per tahun dan akan naik menjadi USD 16 triliun pada tahun 2050. Itu adalah angka yang mengejutkan karena setara dengan PDB China.

Parahnya lagi biaya-biaya tersebut tidak secara teratur dihitung dan industri makanan-pertanian tampaknya berasumsi bahwa semua ongkos itu akan dibayar. Anggapan tersebut tidak benar dan harus diubah.

Laporan kunci yang disusun oleh Food and Land Use Coalition (Koalisi Pangan dan Penggunaan Lahan),yang beranggotakan kelompok-kelompok bisnis, lembaga-lembaga penelitian, dan PBB; juga menyertakan perhitungan biaya yang harus dibayar oleh pemerintah dan pelaku bisnis untuk transisi ke sistem makanan yang berkelanjutan.

Mereka memperkirakan biaya transisi mencapai USD 300 - 350 miliar per tahun. Selain itu, setelah memperhitungkan biaya tersembunyi, sistem pangan berkelanjutan ditaksir dapat menghasilkan USD 5,7 triliun per tahun pada 2030 seiring bermunculannya peluang-peluang ekonomi baru dan itu akan mengimbangi biaya transisi yang dikeluarkan dengan berlipat ganda.

Tentu saja sistem pangan sedemikian baru dapat dicapai bila pemerintah dan kalangan bisnis berkomitmen untuk bersinergi melakukan beberapa perubahan dalam kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Selama ada uang yang akan dihasilkan, pelaku bisnis seharusnya tidak keberatan untuk mengubah kebijakan perusahaan. Tinggal pihak pemerintah membuat beberapa terobosan untuk mendorong kalangan bisnis mempercepat perubahan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline