Lihat ke Halaman Asli

Rizka Khaerunnisa

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Perihal Kita, Pengelana Menuju Rumah atau Sebaliknya

Diperbarui: 22 Oktober 2020   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Copyright 2020 Rizka Khaerunnisa

Ketika saya merasa lelah dengan segala hiruk-pikuk dan tuntutan sosial, acapkali angan tebersit di benak: apakah lebih baik saya hidup sebagai petani saja? Alasannya cukup naif, demi menjaga kewarasan jiwa raga.

Saya membayangkan, dengan bertani akan selangkah lebih dekat dengan alam.

Setidaknya, saya bisa rutin bangun lebih pagi dan tidur pukul sepuluh malam, intinya punya jam tidur yang cukup--sudah lama saya kehilangan siklus itu dan betapa merindukannya! Setidaknya, bisa menghalau overthinking--penyakit yang akrab di telinga anak muda zaman kiwari. Setidaknya, bisa ikut bungah setiap kali memetik dari apa yang saya rawat sendiri dan hasilnya, minimal, saya konsumsi sendiri--semacam rasa haru dan lega hati yang bercampur-baur.

((Terdengar meromantisisme realita? Anda benar...))

Belakangan, saya mulai nyicil belajar nandur sayuran dan nabung tanduran. Agak sulit, sebab saya harus mengakali lahan yang terbatas, cuaca perkotaan yang sangat terik, serta tiadanya tanah, wadah, dan anggaran, hehe.

Belakangan, saya tengah bepikir soal rencana membuat greenhouse di atap rumah menggunakan paranet agar intensitas cahaya matahari yang terlalu kuat bisa tereduksi. Tapi ada satu hal yang membuat saya khawatir seandainya greenhouse telah dibuat serta jumlah tanaman semakin banyak dan beragam.

Apakah akan selamanya saya menetap dan menghabiskan waktu di rumah ini?

Kalau dipikir-pikir, angan tentang kehidupan merantau dan mengembara yang selama ini saya impikan adalah hambatan terbesar untuk mulai bertani kecil-kecilan di rumah yang sekarang--rumah orangtua. Entah, selalu terpatri dalam pikiran bahwa saya harus lekas meninggalkan kota dan ruang ini, lalu hidup sebagai penjelajah ke ruang-ruang yang baru.

Agak dilema.

Berhadapan dengan ini, pikiran saya jadi berlanglang buana. Saya teringat nasib Kain dan Habel, dua putra yang terlahir dari rahim Hawa.

Bagaimana dengan kehidupan Kain yang dikutuk menjadi pengembara oleh Tuhan? Kita semua tahu, semula Kain adalah petani-pemukim sejati. Bekerja sebagai petani mengharuskan dirinya hidup menetap, tak bisa berlama-lama jauh dari ladang. Dengan kata lain, pengembaraan menjadi suatu momok bagi dirinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline