Lihat ke Halaman Asli

Pengemis atau Mengemis, di Mana Letak Kesalahannya?

Diperbarui: 14 Mei 2019   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat bulan puasa pengemis masih tetap kejar setoran/foto pribadi

Pengemis. Apa yang terlintas dalam benak ketika mendengar kata pengemis! Orang miskin, orang tak punya kerjaan, orang malas, orang dengan masa depan suram, orang tak punya tujuan atau orang yang sengaja menekuni dunia perpengemisan, semua itu mungkin saja.

Namun, jika dikupas dan dipelajari lebih dalam lagi tentang seorang pengemis, maka saya yakin pembahasan ini tidak akan ada habis-habisnya. Dan mungkin saja bisa jadi polemik tentang pengemis sudah ada di jaman kompeni, yang hingga saat ini tak menemukan titik terang.

Setiap hari, pemandangan kita akan lumrah melihat para pengemis berkeliaran di traffic light atau persimpangan jalan. Dan tidak jarang, sebagian dari mereka terdapat anak-anak dibawah umur yang asyik ikut 'bermain' di jalanan.

Dengan penampilan yang cukup kumel, sambil perban sana sini untuk mengecoh para pengendara, mereka dengan santainya menyodorkan wadah untuk meminta belas kasihan. Ditambah lagi, dengan memasang raut wajah yang melas mereka berharap diberikan uang oleh para pengendara.

Bahkan bicara soal pengemis, mereka tidak hanya ada di pinggir-pinggir jalan saja. Melainkan, jika bulan-bulan tertentu atau momentum yang tidak biasa, kita akan sangat gampang menjumpai pengemis di tempat-tempat ibadah. Baik masjid, klenteng atau tempat ibadah lainnya.

Namun apakah kita dengan gampang bisa memberikan mereka uang secara cuma-cuma?

Nah, ada sebagian dari kita akan merasa iba dengan keadaan mereka. Akan tetapi, apakah kondisi yang cukup 'aneh' itu bisa membuat orang percaya dan dengan gampang memberikan uang receh?

Jawabannya mungkin saja. Kenapa demikian! karena menurut saya banyak dari pengendara bahkan saya sendiri akan memilih memberikan uang kepada para pengemis yang terlihat 'kesakitan', tua sekali dan disabilitas.

Perasaan iba saat melihat kondisi mereka seperti itu, tak jarang membuat saya terenyuh. Saya pun berpikir, kenapa di masa tuanya mereka masih hidup di jalanan untuk mencari uang demi sesuap nasi. Kenapa mereka harus kesakitan seperti itu dengan borok yang menganga tak terobati.

Dan kenapa para disabilitas ini harus memilih jalan mengemis untuk mendapatkan pundi-pundi uang receh. Ya, fenomena seperti ini kerap kali dijumpai. Padahal, label sebagai sampah masyarakat sudah cukup melekat, tapi mereka pun seakan tak menghiraukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline