Lihat ke Halaman Asli

Rusli Sosal

Kebahagianku, telah ku wakafkan kepada mereka yang menderita

Derita Tak Berujung di Jalan Trans Seram, Kisah Nestapa Pasutri yang Miskin Papah dan Sakit Parah

Diperbarui: 5 Maret 2019   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: dokpri

Oleh; Rully Sosal

Memang benar apa kata Dilan. "Hidup itu keras". Dan lebih keras lagi, saat kita menjalaninya di negeri orang. Jauh dari kampung halaman, sudah begitu, tidak ada sanak family disekitar. Resikonya, kita sendiri musti berjuang keras, melewati setiap ujian hidup yang datang silih berganti.

Masih mending jika derita hidup yang dihadapi adalah diluar masalah ekonomi dan kesehatan. Gimana ceritanya, bila dua hal itu muncul bersamaan? Menghadipnya, sudah pasti kita akan menangis.

Kondisi inilah yang sedang dialami oleh sepasang suami-istri (Pasutri) asal Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tenggara. Adalah Samsudin Bang (50) dan Wa Murni (43). Alamat tinggal, Dusun Namatotur, Desa Latu, Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.

Jalan hidup yang dilalui keduanya, sungguh memilukan. Jauh dari sanak family, tak berkecukupan harta. Sudah begitu, keduanya sedang menderita sakit parah. Pak Samsudin mengidap penyakit gula darah kering plus komplikasi. Sedangkan Bu Murni, dua kakinya lumpuh total.

Suatu siang pada penghujung Februari 2019, suasana di kampung mereka tinggal, terlihat ramai oleh beragam aktifitas warga. Jam digigital pada HP, baru menunjukan pukul 11.15 WIT. Namun terik matahari disertai hawa panas, sudah terasa begitu menyengat, menusuk hingga ke relung kalbu. Kondisi ini, tak lantas membuat bubar sekelompok emak-emak lagi mengerumuni Jibu-jibu ikan ditepian badan jalan trans seram.

Disekeliling, tampak semua pintu depan hingga belakang rumah warga, terbuka lebar. Pada setiap sudut bumbung dapur, mengepul asap putih berasal dari tungku-tungku kehidupan. Saat yang sama, oleh sang bayu diembus aroma tumis cumi kering. Seolah memberi isyarat kepada semesta insani bahwa limpahan nikmat dari Sang Illahi Rabbi, sungguh tiada tara.

Tak jauh dari kerumunan emak-emak, berdiri dua buah gubuk rewot diseberang jalan dekat jembatan Wae Mudua. Dua gubuk itu, sama-sama berkontruksi papan kayu palaka dengan penutup atap dari anyaman daun sagu, warisan leluhur bangsa alifuru. Satu diantaranya, terlihat berurak seolah sudah lama ditinggal pergi pemiliknya. Semua pintu dan jendelanya, tertutup rapat. Tak ada kepulan asap di dapur, apalagi aroma masak-memasak seperti yang ada di tetangga rumah sebelah. 

Sumber: dokpri

Dibagian depan dan sebelah kiri rumah, penglihatan mata kepala bisa menembus hingga ke dalam. Sebab, pada dinding bangunannya terdapat banyak lubang- lubang penderitaan. Di gubuk rewot yang tak memiliki alat penerang listrik inilah, Samsudin dan Murni saling memadu kasih dalam balutan kesengsaraan sebagai ujian persembahan Upu Lanite.

Melihat gubuk itu, sebelumnya, dibenak sempat terlintas tanya. Adakah penghuninya?. Namun tak lama, tanya-ku terjawab oleh gemuruh batuk Pak Samsudin. Suara batuknya terus menggelegar berulang-kali selama hampir dua menit. Ku rasakan semacam ada panggilan sanubari dari suara batuk tersebut.

Kaki ini lalu melangkah maju, menulusuri rerumputan tebal yang tumbuh liar dihalaman depan. Tetiba di beranda, nampak dari balik lubang-lubang dinding, Bu Murni dengan susah-payah sedang merayap menggunakan pantat dari arah belakang. Tangan kirinya menekan pada lantai. Sedangkan yang kanan, memegang sebuah gelas dan cerek plastik berisikan air obat. "Masya Allah..," gumamku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline