Lihat ke Halaman Asli

RULI BUDI APRIYANTO

Setengah Mahasiswa.

Pengirim Rasa

Diperbarui: 5 April 2021   13:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hilir mudik transportasi di kota ini tidak pernah lengang. Orang-orang sibuk dengan keperluannya dan pergi ke tujuan masing-masing. Dari ujung utara ke ujung selatan kota, dari sudut satu ke sudut lainnya. Bekerja, sekolah, berjudi bahkan bercinta, semuanya mereka lakukan dengan pergi dari rumah. Sebab kata mereka, semua hal yang bukan berasal dari rumah itu terasa lebih nikmat saat menjalaninya.

Di kota ini tidak hanya orang -- orang yang terlihat sibuk berpindah. Barang, informasi, makanan, bahkan perasaan juga berdesakan di jalurnya masing -- masing. Mereka diantar oleh kurir yang setiap hari pergi ke tempat dimana semua itu harus dikirimkan.

***

Lain dengan hari biasanya, pagi ini seorang laki -- laki menggerutu di depan tv di ruang tengah rumahnya. Ia hampir saja melempar gelas kopinya yang belum habis, sebab ia kesal setelah melihat pembawa berita pagi menyampaikan bahwa mulai hari ini walikota memutuskan untuk menutup semua akses transportasi dalam kota dan melarang semua warga untuk keluar dari rumah.

Laki -- laki itu sudah kelihangan nafsu untuk menghabiskan kopinya pagi ini. Sudah tidak terhitung makian yang keluar dari mulutnya. Ia tidak habis pikir bisa -- bisanya Walikota mengambil keputusan seperti itu. Ia tidak memusingkan soal bagaimana ia bisa berangkat bekerja, yang ia fikirkan jika tidak boleh keluar rumah adalah bagaimana ia harus menemui kekasihnya?

Ia teringat 3 minggu yang lalu saat ia tiba -- tiba sakit dan terpaksa menunda untuk menemui kekasihnya. Esoknya saat mereka bertemu, laki -- laki itu tidak mendengar sedikitpun kekasihnya berbicara kecuali hanya satu kalimat.

"jika kau merasa bercinta dengan sakitmu itu lebih menyenangkan maka tak usahlah kau menemuiku lagi."

Lelaki itu merasa sangat bersalah, sebab selepas menyampaikan kalimat tadi, kekasihnya tidak lagi mau melihat wajahnya. Selama seharian ia hanya mendengarkan kebisuan dari kekasihnya. Jangankan mengobrol, melirik dirinya saja pun tidak.

Kenangan pahit 3 minggu yang lalu itu sudah menjadikannya kapok. Tidak lagi -- lagi ia akan absen menemui kekasihnya. Bahkan jika perlu ia pun tak takut melanggar hukum. Bagi dia, ucapan kekasihnya adalah sumber dari segala sumber hukum yang berlaku dan harus ia patuhi.

Itulah mengapa sepagi ini ia sudah marah dan memaki berita yang baru saja ditayangkan di televisinya. Sembari menghisap sebatang rokok kretek, ia membayangkan jika hari ini ia tidak bisa menemui kekasihnya, mungkin disana kekasihnya akan kesal dan berkata "apakah bibir walikota itu lebih menggoda daripada bibirku, sehingga kau lebih menuruti ucapannya daripada semua yang keluar dari mulutku ? dasar kadal ?!!".

Laki -- laki itu terbatuk, tertahan asap kreteknya di tenggorokan sebab menahan tawa geli membayangkan apa yang diucapkan kekasihnya. Akhirnya ia teguk sisa kopi di gelasnya. Dalam hatinya ia tetap bertekad hari ini ia tetap harus bertemu kekasihnya, bagaimanapun caranya, apapun resikonya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline