Isu Tidak Halal Diabaikan, Food Tray MBG Tetap Diimpor dari China: Ada Apa?
Di ruang rapat DPR pada Senin, 8 September 2025, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyatakan bahwa produksi food tray dalam negeri hanya mampu memenuhi 11,6 juta unit per bulan. Dengan target program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjangkau 82,9 juta penerima manfaat hingga akhir tahun, Dadan menilai masih ada kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan food tray. Oleh karena itu, ia menegaskan impor food tray akan tetap dibuka, meski isu kehalalan menjadi sorotan publik. Pernyataan ini terdengar seperti musik yang memaksa menenangkan keresahan rakyat, padahal hati masyarakat bergemuruh. Di sinilah terlihat paradoks, ketika program kerakyatan yang seharusnya melindungi justru terasa tidak merakyat. Rakyat yang mengharapkan kepastian halal seakan dihadapkan pada tirai kaca: terlihat, tapi tak tersentuh.
Sebenarnya, kemampuan produksi nasional yang mencapai 11 juta per bulan jelas bisa memenuhi kebutuhan hingga akhir tahun. Jika pemerintah mendukung penuh produsen lokal, mulai dari insentif, regulasi, hingga jaminan pasar, pengadaan food tray MBG bisa menjadi momen pemberdayaan industri lokal. Dengan begitu, arus ekonomi tetap berputar di dalam negeri, lapangan kerja terjaga, dan rakyat merasa diperhatikan. Namun, yang terjadi justru strategi impor yang mati-matian dijalankan, seolah mata negara lebih tertarik pada arus perdagangan global daripada suara rakyatnya sendiri. Di titik ini, wajar jika publik bertanya-tanya: siapa yang diuntungkan dari keputusan ini? Mengapa produksi dalam negeri yang realistis dipinggirkan?
Isu kehalalan, yang seharusnya menjadi prioritas, justru diabaikan. Food tray MBG tetap meluncur dari China tanpa ada klarifikasi transparan mengenai minyak babi. Kepentingan ekonomi tampak lebih diutamakan sementara moral dan kepercayaan publik diabaikan. Rasa aman masyarakat terhadap negara pun mulai retak, seperti kaca tipis yang retaknya terlihat, tapi masih menahan hujan. Ketika pemerintah bersikap bisu soal halal, rakyat tidak bisa diam; kecurigaan mulai tumbuh liar.
Kecurigaan itu bukan tanpa dasar. Impor besar-besaran saat produksi nasional mencukupi menimbulkan aroma kepentingan tersembunyi. Publik melihat kemungkinan adanya lobi kuat importir di belakang meja pejabat, yang memaksa arus barang tetap deras. Konflik kepentingan seperti ini menjadi bayangan yang menari di antara kata-kata resmi, seolah memberi pesan bahwa kepentingan dagang lebih diutamakan daripada kepentingan umat.
Jika produksi nasional didukung maksimal, lapangan kerja akan terjaga dan ekonomi berputar di dalam negeri. Namun, strategi impor yang mati-matian dijalankan justru mematikan kesempatan itu. Rakyat mulai melihat program kerakyatan sebagai topeng yang menutupi wajah kepentingan elit, bukan sebagai sarana perlindungan dan kesejahteraan. Keputusan pemerintah terasa seperti matahari yang memanas di luar musim, memberi cahaya tapi membakar akar yang seharusnya dilindungi.
Di tengah semua ini, masyarakat menuntut kejelasan: apakah food tray itu halal atau haram? Tanpa jawaban tegas, segala pernyataan resmi hanya menjadi musik kosong yang mengisi ruang rapat. Rakyat ingin bukti, bukan janji; transparansi, bukan retorika. Kepercayaan yang hilang sulit dibangun kembali, dan setiap hari ketidakjelasan ini menjadi batu tajam di jalan moral negara.
Bahkan fakta penolakan di satu kecamatan di Sulawesi Utara, yang menolak program MBG karena isu kehalalan food tray, seolah tidak menjadi perhatian serius dari pejabat terkait. Masyarakat setempat menunggu kepastian halal, namun respons pemerintah lebih banyak berbicara soal kelancaran impor daripada menenangkan keresahan rakyat. Fakta ini menjadi cermin bahwa suara publik, meski jelas dan sah, sering kali kalah dengan logika perdagangan dan target kuantitas. Padahal, program kerakyatan semestinya hadir untuk menjawab kebutuhan rakyat, bukan sekadar memenuhi angka impor atau distribusi. Ketiadaan tindakan cepat untuk menanggapi penolakan itu justru memperkuat persepsi bahwa kepentingan elit lebih diutamakan daripada kepentingan umat. Kejadian ini menambah daftar panjang tanda bahwa program yang disebut pro-rakyat kadang bergerak di jalur yang berbeda dari kepentingan rakyat sesungguhnya.
Ketika suara rakyat diabaikan, muncul perasaan bahwa negara hanya menjadi penjaga pintu impor, bukan penjaga moral dan kepentingan publik. Hal ini berpotensi menggerus legitimasi program kerakyatan itu sendiri. Bagaimana rakyat bisa percaya pada kebijakan yang tidak selaras dengan kebutuhan dan nilai mereka? Ironi ini semakin menonjol ketika angka produksi dalam negeri bisa menutupi kekurangan, tetapi tetap diabaikan.
Pejabat yang seharusnya menjadi benteng kepercayaan publik justru tampak tertarik pada arus komisi dan kepentingan dagang. Sementara rakyat menahan napas, perasaan dicurangi mulai merayap. Paradigma “negara hadir untuk rakyat” berubah menjadi ilusi yang memudar di balik tirai kepentingan ekonomi. Keresahan publik bukan sekadar suara, tapi gema ketidakadilan yang terdengar hingga ke meja pengambil keputusan.
Jika negara benar-benar ingin program kerakyatan bermakna, moratorium impor sementara sambil menunggu kejelasan halal adalah langkah logis. Dengan begitu, rakyat melihat komitmen moral dan perlindungan terhadap kepentingan nasional. Hal ini juga memberi waktu bagi produsen lokal untuk menggenjot produksi, menguatkan kemandirian, dan menumbuhkan kepercayaan publik. Sederhana, namun bermakna: negara hadir, bukan hanya sebagai pengawas perdagangan.