Lihat ke Halaman Asli

Menunggu Nasib Perfilman Indonesia Selanjutnya

Diperbarui: 25 Mei 2020   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tangkapan layar

Sebuah tantangan besar  kini telah melanda industi perfilman negeri ini. Meski industri lain pun mengalami hal yang sama. Namun, topik inilah yang ingin coba saya bagikan kepada teman-teman.  Terlebih peran saya yang menekuni dunia penulisan skenario, blogger, dan juga menulis novel.

Singkat cerita, hari ini saya berkesempatan mengikuti  Webinar sekaligus HalalBiHalal yang diadakan oleh Kemendikbud yang melibatkan 40 jurnalis Perfilman Nasional Bersama Asosiasi dan StakeHolder Perfilaman.  Mengikuti acara tersebut saya merasa sangat senang, dan gairah semangat untuk menulis di tengah pandemi ini kembali meningkat.

Tidak ingin pesimis, saya ikut kecipratan semangat mendengar Putri Ayudya bahwa saat ini kalangan artis mengadakan endorse produk secara  gratis untuk UMKM. Semoga niat baik ini bisa dioptimalkan dan membantu kalangan UMKM untuk meringankan bebannya.

"Inilah kesempatan kita sebagai pelaku kreatif untuk mengasah dan menunjukan kreatifnya,"  pungkasnya.

Selajutnya mari kita bahas mengenai perfilman Indonesia. Saya ikut tersenyum ketika Bapak Djony Syafruddin mengatakan, "Dalam masa pandemi ini. Ibu-ibu lebih menikmati film korea di netflix daripada film Indonesia."

Seketika saya teringat dengan ungkapan "ibu-ibu dengan whatsapp lebih berbahaya daripada ibu-ibu sein kanan belok ke kiri". Ternyata dalam dunia perfilman pun ibu-ibu sangat diperhitungkan.  Lantas bagaimana penggiat dan pelaku insdustri perfileman Indonesia menyikapi hal ini?

Salah satu upaya demi menguatkan kembali perfilman indonesia adalah usulan bioskop Drive in yang telah dilakukan oleh berbagai negara. Harapannya di Indonesia juga bisa dilakasanakan dan bisa dinikmati tidak hanya diperkotaaan tetapi juga di daerah-daerah.

simpan-5ecba31cd541df4b0e2931f4.jpg

Masalah lama pun kembali dibahas seperti batasan usia dalam upaya penayangan. Karena dibioskop masih ada saja anak-anak usia di bawah umur  yang menonton film usia 17 tahun ke atas. Dalam obrolan itu, saya ikut menyoroti usulan mengenai perlu diadakannya tim khusus untuk masalah ini. Apakah itu akan efektif atau justru menimbulkan masalah baru. Perlukah dicoba, mari kita percayakan kepada para ahlinya.

Selain itu, beberapa film Indonesia mengalami batal tayang, Salah satunya adalah Yowis band 3. Berkaca dari bioskop yang ditutup masalah ini pasti akan terus menjadi masalah yang semakin serius. Semoga jalan keluar dari masalah-masalah yang sedang dihadapi ini bisa segera menemui titik terang dan menjadikan indsutri perfilman Indonesaia semakin maju.

Saya mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Maju terus perfilman Indonesia!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline