Lihat ke Halaman Asli

Uang Merah

Diperbarui: 5 April 2020   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto gratis dari PicArts

Waktu Isya' telah aku tinggallan beberapa menit yang lalu. Lompatan setelahnya kuujudkan dengan menelusuri ruas jalan kota dengan bersepeda. Kayuhanku mantap sesekali berzig-zag mengikuti bisikan hati. Mengendalikan stang dilintasan paving blok tepi jalan mendapatkan goncangan kecil yang tidak berkesudahan. 

Tujuanku bersepeda malam malam adalah mencari kaum pengembara yang biasa menata peraduan didepan toko. Ya, mereka kaum urban dari wilayah pedesaan yang mengepung kota. Semenjak wabah misterius merembet menghantam republik ini, kehidupan manusianya menjadi terganggu. 

Kekuatiran terpapar wabah membuat masyarakat mengurangi aktivitas dilapangan. Seruan berdiam diri dirumah disambut masam oleh pengembara jalanan. Mereka terhantam prahara. 

Pemasukan tergerus karena job menghilang seiring himbauan stay at home. Sebenarnya aku juga bagian dari mereka. Cuma, sebuah keajaiban muncul diawal merebaknya wabah itu.

Bunyi genta berklintingan dari gerbang mengangkat tubuhku agar beranjak menuju sumbernya. Seorang lelaki muda berdiri tepat didepanku.

"Apakah ini rumah bapak Aditama Nugraha?"

"Ya, benar. Saya yang punya nama itu", jawabku

"Boleh saya masuk, pak?"

Aku persilahkan pemuda itu. Teras rumah menjadi ajang bagi pembicaraan selanjutnya. Pemuda itu memilih kursi tua peninggalan nenek di sudut. Pandangannya mengguyur penuh selidik.

"Ada maksud apa mencari saya?", tanyaku.

"Benar bapak yang bernama Aditama Nugraha?". Ia mengulangi lagi pertanyaannya. Aku jadi bingung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline