Lihat ke Halaman Asli

Strategi Pemasaran Produk Halal

Diperbarui: 8 Januari 2018   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : halalfocus.net

Label halal merupakan salah satu ciri khusus yang menandakan bahwa produk sudah tersertifikasi atau memenuhi kriteria produk halal. Label halal belakangan ini menjadi sangat populer dan produk-produk halal ini meningkat permintaannya. Prospek produk halal di masa depan terlihat menjanjikan sebagai bisnis, hal ini disebabkan populasi penduduk muslim yang menjadi konsumen terbesar produk halal mengalami peningkatan. Tahun 2015 penduduk muslim menempati 24% dari populasi global atau 1,8 miliar dari total 7,3 miliar jiwa. Diperkirakan pada tahun 2015 -- 2060 jumlah penduduk muslim meningkat hingga 70% (BBC, 2017).

Dari hasil survey, konsumen produk halal pun tidak hanya berasal dari masyarakat muslim tetapi juga dari non-muslim. Alasannya, produk yang halal cenderung menyehatkan. Hal ini tidak lepas dari prinsip pengolahan produk halal, terutama makanan, yang tidak hanya halal dzatnya (halal by materials) tetapi juga halal prosesnya (halal by process). Ditambah lagi produk halal harus thayyib yang berarti produk tersebut bersih, berkualitas, dan bernutrisi (jika makanan).

Lisensi label halal saat ini di Indonesia dipegang oleh LPPOM MUI dan sudah diakui oleh dunia, bahkan beberapa produk luar negeri mendaftarkan label halalnya di Indonesia. Mereka sadar bahwa semakin tingginya kesadaran akan mengkonsumsi produk yang halal akan membutuhkan sebuah label sebagai jaminan kehalalan produk.

Beberapa bisnis pun bertransformasi dari layanan konvensional menjadi berbasis syariah, sebut saja hotel/penginapan syariah, transportasi syariah, jasa keuangan syariah, wisata religi syariah, pakaian muslim, dan bahkan kosmetik syariah. Pebisnis melihat kecenderungan tersebut sebagai peluang yang masih "segar", belum banyak dimanfaatkan oleh pebisnis lain.

Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbesar dunia memiliki prospek yang sangat bagus, bahkan berpeluang menembus pangsa pasar produk halal dunia. Pesaing terdekat adalah Malaysia yang saat ini label halal dipegang oleh JAKIM, Departemen Pengembangan Islam Malaysia. Malaysia bahkan menerapkan sistem rantai pasokan (supply chain system) terhadap produk yang hendak disertifikasi halal. Sebagai contoh, produk makanan halal berupa daging ayam memiliki kerentanan untuk bercampur dengan daging lain saat proses pergudangan dan pengangkutan. Daging ayam yang halal dapat berubah menjadi haram apabila dalam proses penyimpanannya dijadikan satu dengan daging babi misalnya. Halal by process sangat dijaga dalam memenuhi label halal produk. Baik Malaysia maupun Indonesia juga memiliki website yang berisi daftar produk halal sertifikasi mereka hingga bagaimana mendaftarkan produk halal.

Kesadaran masyarakat muslim di Indonesia terhadap produk halal semakin meningkat. Baru-baru ini di media surat kabar Indonesia heboh dengan ditemukannya beberapa produk olahan mie ramen yang merupakan impor dari China terindikasi mengandung campuran gelatin babi. Tentu saja hal ini cukup meresahkan masyarakat muslim di Indonesia, yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia. Akibat pemberitaan tersebut, beberapa produsen mie ramen sejenis berlomba-lomba mengklaim kehalalan produk dengan mencantumkan label halal guna menghindari turunnya kepercayaan masyarakat. Memang bagi masyarakat Indonesia mie instan dan sejenisnya sangat digemari, merupakan "makanan rakyat" dan memiliki varian rasa yang beragam dengan harga terjangkau. Tidak terkecuali masyarakat muslim yang ada di Indonesia sangat menggemari keberadaan mie instan. Oleh sebab itu perlu diperhatikan secara lebih seksama perihal labelling halal, terutama jika ingin menjadi pionir dalam pasar produk halal dunia.

Dalam upaya menjadi pionir produk halal di dunia, pebisnis di Indonesia yang hendak terjun dalam persaingan produk halal hendaknya perlu memperhatikan prinsip pemasaran sebagaimana dikenal sebagai marketing mix. Hashim & Hamzah (2013) menggabungkan teori marketing mix Philip Kotler dengan konsep Islam menjadi islamic marketing mix 7P yaitu Pragmatism & product, Pertinence & promotion, Palliation & price, Peer-support & people, Pedagogy & physical environment, Persistence & process, dan Patience & place.

Pragmatism & product artinya produk yang dijual tidak boleh asal-asalan, dalam hal ini produk yang dijual sesuai dengan konsep halal & thayyib. Produk yang halal selain dari sisi bahan bakunya, juga dari proses penyimpanan dan pengangkutannya. Produk tersebut sudah sewajarnya memiliki nilai tambah dan manfaat bagi pembeli sehingga kualitas terjaga.

Pertinence & promotion artinya dalam berpromosi, atau beriklan, tidak boleh melebih-lebihkan manfaat produk, harus relevan antara produk yang diiklankan dengan manfaat atau pun kondisi barang yang dijual. Seringkali dijumpai terutama lewat transaksi online, barang terlihat bagus namun pada saat barang sudah sampai pada pembeli kondisi yang diterima berbeda dari yang diiklankan. Sering terjadi pada produk pakaian yang dijual secara online. Apabila industri halal ingin berkembang di pasar internasional, kondisi semacam ini perlu dihindari karena dapat menimbulkan citra buruk.

Palliation & price artinya terkait harga produk yang tidak terlalu mahal, disesuaikan dengan kualitas dan proses barang. Barang dengan kualitas bagus tentu saja wajar dijual dengan harga tinggi karena memiliki segmen yang berbeda.

Peer-support & people, artinya antara penjual dengan pembeli diharapkan terjalin sebuah hubungan yang baik. Oleh sebab itu sebagai penjual harus mengutamakan kepuasan pelayanan. Produk halal yang mampu memberi kepuasan dapat membentuk citra positif bagi keseluruhan produk halal sejenis, demikian juga sebaliknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline