Lihat ke Halaman Asli

Rizki Muhammad Iqbal

Suka makan ikan tongkol

Merumuskan Ulang Identitas Sembari Merayakan Kenikmatan

Diperbarui: 2 September 2020   17:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: winnetnews.com

Judul: Identitas dan Kenikmatan
Penulis: Ariel Heryanto
Penerjemah: Eric Sasono
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Ketebalan: 336 halaman

Indonesia telah memasuki abad yang baru, sebuah masa di mana teknologi digital menguasai semua aspek mendasar dalam kehidupan manusia. Hal ini dapat kita lihat dari kecenderungan manusia untuk selalu menatap kehidupan di luar sana melalui sebuah kotak kecil berupa layar ponsel dan televisi sebagai media arus utama. Berbagai tren viral yang sedang naik daun kini dengan mudah digandrungi anak muda Indonesia, khususnya kelas menengah perkotaan. Informasi melalui perangkat digital kini dengan mudah diakses melalui layar ponsel dan televisi tersebut.

Berbagai kenikmatan ini menggiring muda-mudi untuk selalu mengikuti arus tren untuk selalu terlihat up to date dengan berbagai komentar mengenai gejala-gejala sosial yang muncul belakangan ini. Bukan melulu perihal kenikmatan duniawi semata, namun kegandrungan inilah yang disebut oleh Ariel Heryanto sebagai proses perumusan ulang identitas dan jati diri yang sesungguhnya pasca-otoritarianisme rezim Orde Baru.

Ariel Heryanto berhasil membuat jaring-jaring yang terkoordinasi dengan mengaitkan beberapa hal dalam kajian etnografisnya. Keterkaitan inilah yang membahas beberapa gejala sosial yang muncul dalam kehidupan sosial di Indonesia mutakhir. Di buku Identitas dan Kenikmatan, Ariel Heryanto berusaha untuk menjawab persoalan mengenai gejala budaya yang berakar kuat pada persoalan sejarah yang seakan dilupakan dan diterima begitu saja. Persoalan-persoalan ini mengalir dengan begitu cair pada konteks kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Indonesia.

Hal inilah yang menyebabkan gonjang-ganjing identitas nasional sebagai warga Indonesia tentang menilai dan menimbang mengenai bagaimana wujud menjadi warga negara Indonesia dengan membangun pengetahuan melalui narasi sekaligus pengabaian mengenai proses sejarah. Sejarah yang tidak mengenakkan akan diabaikan begitu saja. Dalam buku ini, Ariel berusaha memaparkan uraian panjang mengenai proses sejarah yang menjadi akar dari berbagai gejala sosial yang muncul di Indonesia mutakhir.

Di sini beliau menekankan pentingnya memahami budaya populer dan keterkaitannya dengan sejarah yang berusaha untuk dilupakan sekaligus dinikmati dengan kemunculan berbagai kenikmatan yang diproduksi melalui budaya layar Indonesia.

Di awal buku, beliau menjelaskan gejala yang muncul sebagai perumusan ulang identitas masyarakat kelas menengah perkotaan yang diiringi dengan berbagai persoalan lain seperti menguatnya politik Islam setelah terkekang dalam jeruji rezim Orde Baru; perselisihan tanpa ujung di kalangan elite politik; kebangkitan ekonomi Asia, perdebatan panjang mengenai sejarah 1965, serta revolusi digital yang secara serentak disambut dengan sukacita oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Buku ini membuka pembahasan awal dengan munculnya Islamisasi yang baru, atau yang biasa disebut oleh Ariel sebagai Post-Islamisme. Kebangkitan Post-Islamisme ditandai dengan beragamnya unsur-unsur kemajemukan berupa faktor-faktor lain yang mengambil peranan yang begitu besar pada proses yang dinamakan Islamisasi ini.

Menariknya, istilah Islamisasi di sini tidak mengacu pada persoalan seperti berkembangnya politik Islam melalui diskusi umum Indonesia kontemporer yang biasa diusung oleh komunitas Muslim. Di sini Islamisasi diartikan  bahwa terdapat jaring-jaring yang mengaitkan beberapa hal yang tidak terpikirkan oleh masyarakat dalam konteks kehidupan sehari-hari, seperti ekspansi kapitalisme dalam bentuk barang dan jasa serta praktik-praktik yang diakui memiliki unsur-unsur islami atau "yang terislamkan" (hlm.40).

Masyarakat--khususnya kelas menengah perkotaan--berusaha mengawinkan konsumerisme duniawi dengan nilai-nilai Islami. Hal ini diawali oleh keruntuhan rezim Orde Baru yang membuat semacam ruang kosong bagi identitas Muslim yang pernah tersingkirkan dalam politik Orde Baru. Kemudian, analisis membelok tajam terhadap kajian film Ayat-ayat Cinta yang dinilai sebagai kemunculan era baru bagi kehidupan publik di Indonesia. Hal ini jugalah yang menjadi awal dari terbentuknya kalangan Muslim era modern.

Sebagaimana sejawat mereka yang sekuler dan non-Muslim, generasi baru dan terdidik Muslim di seluruh dunia berharap memiliki kemerdekaan dan uang yang memungkinkan mereka untuk menikmati selera kebudayaan mereka sambil memelihara kehormatan diri tanpa mengorbankan keimanan mereka (hlm.53). Jika kita melihat gejala sosial yang muncul pada jaman sekarang, kita bisa melihat bagaimana perempuan Muslimah dengan pakaian yang serba tertutup dengan riang gembira menikmati kebebasannya dengan berjoget melalui video Tik-Tok, namun tetap dalam kerangka yang syar'i.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline