Lihat ke Halaman Asli

Ingin Kurikulum yang Tidak Menyusahkan Siswa

Diperbarui: 15 Desember 2019   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rizal Alfiano

Naskah pidato peringatan Hari Guru Nasional (HGN) yang disusun sendiri oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, masih menjadi topik yang  hangat untuk diperbincangkan. Padahal, naskah pidato yang dituliskan dalam dua halaman itu telah berselancar di dunia maya lebih dari dua pekan. Tidak hanya kalangan akademisi, seperti guru atau dosen yang masih menggoreng pendapat Nadiem yang dituangkan dalam naskah pidatonya. Hampir seluruh elemen masyarakat yang merasakan dampak dari sistem pendidikan di Indonesia saat ini juga turut memberi tanggapan.

Ada yang menanggapi positif karena pidato Mendikbud dianggap resep untuk membuat pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Namun, ada juga yang merespons biasa saja.

Bahkan, sejumlah media cetak atau daring nasional juga ikut memviralkan pidato eks-CEO Gojek tersebut dengan menjadikan isu pendidikan yang merujuk pada isi pidato Mendikbud sebagai headline. Salah satunya koran Jawa Pos . Sejak naskah pidato Nadiem diunggah di Twitter Kemendikbud pada 22 November dan viral, Jawa Pos terus menggodok isu pendidikan. Isu tersebut selalu diberikan ruang di halaman pertama.

Misalnya, pada Jawa Pos (24/11/2019) dimuat berita berjudul Nadiem Akui Beban Guru Berlebihan. Judul tersebut juga merujuk pada salah satu poin dalam pidato mendikbud. ”Anda ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktu Anda habis untuk mengerkajan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas”.

Sehari setelahnya, Jawa Pos (25/11/2019) kembali menuliskan berita yang isunya juga tertuang dalam pidato Mendikbud di HGN. Berita berjudul Kurikulum Justru Batasi Kreatifitas itu apabila ditelaah merupakan respon dari pernyataan mendikbud yang berbunyi, ”Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutupi pintu petualangan,” tulisnya.

Sebagai calon guru –saat ini notabene saya adalah mahasiswa prodi pendidikan—saya merespon positif isi pidato Nadiem. Dari tujuh opini Nadiem tentang kondisi pendidikan di Indonesia, nyaris semuanya benar. Di antaranya, guru ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktu luang guru habis untuk mengerjakan tugas administratif. Misalnya saja untuk administrasi guru SD. Untuk menunjang proses pembelajaran, guru harus menyiapkan buku absen siswa, buku induk siswa, jadwal pelajaran, daftar nilai, buku laporan hasil belajar, buku leger siswa, buku pembinaan siswa, dan buku kasus siswa. Belum lagi masing-masing guru harus membuat silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) per semester.

Selain itu, Nadiem juga menyebutkan bahwa sebenarnya guru ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari lingkungan sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutupi pintu petualangan. Menurut saya, pernyataan tersebut memang benar. Siswa belajar seolah-olah seperti dikejar target. Padahal, tidak semua siswa pandai menghafal. Beberapa di antaranya butuh melihat, menyentuh, bahkan bersinggungan langsung untuk benar-benar tahu tentang suatu hal.

Sebenarnya, tidak semua sekolah seperti itu kok, Pak Nadiem. Beberapa di antaranya sudah melakukan inovasi kurikulum. Mereka tidak mengubah kurikulum yang ditetapkan pemerintah, hanya metode mengajarnya yang dibuat semenarik mungkin agar anak enjoy dalam belajar.

Sekolah Gajahwong merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menerapkan prinsip back to nature and back to reality [kembali ke alam dan kenyataan]. Seperti yang diberitakan merdeka.com (31/01/2016) pada berita yang berjudul Sekolah Gajahwong Semangat Memutus Rantai Kemiskinan Anak Pemulung, yang mana sekolah tersebut awalnya berdiri untuk mengakomodir anak tidak mampu yang belum sekolah. Lambat laun, sekolah tersebut juga menerima siswa umum. Banyak orang tua yang mendaftarkan anaknya karena tertarik dengan metode pembelajaran yang diterapkan di Sekolah Gajahwong.

Gajahwong menerapkan metode pembelajaran tematik untuk menentukan tema yang akan dipelajari selama tiga bulan kedepan. Tidak hanya dengan metode tematik saja, Sekolah Gajahwong juga menerapkan metode trip serta recycle, reuse, reduce (mendaur ulang, menggunakan kembali, mengurangi) yang disebut 3R. Metode tersebut yang paling sesuai dengan lingkungan yang berada di tengah kota, dengan produksi limbah rumah tangga yang berlimpah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline