Lihat ke Halaman Asli

Risky Wahyu Permana

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, NIM 24107030083

Kemasan Rokok Diseragamkan: Solusi atau Masalah Baru?

Diperbarui: 12 Juni 2025   22:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Saya masih ingat betul, dulu waktu kecil, warung di dekat rumah saya menjual rokok eceran. Satu batang bisa dibeli dengan uang receh hasil jajan yang disisihkan. Merek-merek rokok itu terpajang bebas di balik kaca etalase, lengkap dengan warna-warni kemasannya yang mencolok dan menggoda. Padahal, kami masih anak-anak.

Hari ini, pemerintah tengah menggulirkan wacana baru: menyeragamkan kemasan rokok. Semua rokok, apa pun merknya, akan dibungkus dalam desain yang sama, polos, tanpa logo, dan hanya berisi peringatan kesehatan. Tujuannya, tentu, untuk menurunkan angka perokok aktif, khususnya di kalangan anak muda. Tapi pertanyaannya, apakah strategi ini benar-benar efektif di Indonesia?

Sebagai content creator, saya pernah menjadikan rokok sebagai properti dalam video. Bukan untuk mempromosikannya, tetapi sekadar bagian dari cerita. Namun, ketika menyadari bahwa audiens saya mulai tumbuh, saya pelan-pelan mengurangi tampil merokok di depan kamera. Ini soal tanggung jawab sosial. Tapi saya juga sadar, perubahan personal seperti itu tidak cukup kalau tidak didukung dengan ekosistem kebijakan yang tepat.

Indonesia sebenarnya bukan negara yang miskin regulasi soal rokok. Cukai terus naik, iklan rokok dibatasi, kawasan tanpa rokok (KTR) diterapkan, dan penjualan kepada anak-anak dilarang. Tapi mari kita jujur: berapa banyak warung yang benar-benar menolak menjual rokok ke Nanak SMP? Hampir tidak ada.


Penegakan hukumnya lemah. Seolah-olah aturan hanya berhenti di atas kertas. Bahkan larangan menjual rokok eceran masih dilanggar di mana-mana. Di sisi lain, fasilitas merokok di tempat umum juga minim. Akhirnya, banyak orang tetap merokok sembarangan karena tidak ada alternatif.

Ketika hukum tidak tegak, semua niat baik menjadi sia-sia. Termasuk ide soal kemasan rokok seragam ini.

Satu hal yang paling mengkhawatirkan dari kebijakan penyamaan kemasan adalah potensi meningkatnya peredaran rokok ilegal. Di daerah-daerah, rokok tanpa cukai atau dengan merek asing yang tidak terdaftar sudah menjadi hal biasa. Bahkan, beberapa merek ilegal justru laris manis karena harganya jauh lebih murah dari rokok resmi.

Dengan kemasan rokok yang seragam, masyarakat akan semakin sulit membedakan mana rokok legal dan ilegal. Rokok ilegal bisa dengan mudah "menyamar" dalam kemasan polos, dan karena tidak membayar cukai, mereka bisa menjual dengan harga miring. Ini jelas merugijan negara, yang kehilangan triliunan rupiah dari sektor yang justru jadi penyumbang cukai terbesar.

Perlu diingat, industri rokok di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Dari sektor ini, negara mengantongi lebih dari Rp286 triliun pada 2023. Bahkan, kontribusinya lebih besar dari seluruh dividen BUMN. Industri ini juga menyerap jutaan tenaga kerja, dari petani tembakau hingga buruh pabrik dan pedagang kecil.

Saya tidak sedang membela industri rokok. Tapi kita juga tidak bisa pura-pura menutup mata. Kalau tujuannya mengurangi angka perokok, harus jelas strategi dan peta jalannya. Jangan sampai pendekatan visual seperti kemasan justru menimbulkan efek sebaliknya: maraknya rokok ilegal, PHK massal, dan makin lemahnya kontrol terhadap konsumsi.

Ada satu hal menarik dalam dunia ekonomi: rokok termasuk barang inelastis. Artinya, meskipun harganya naik, permintaan tidak serta-merta turun. Tapi rokok juga punya banyak substitusi perokok cenderung berpindah ke merek yang lebih murah saat harga naik, bukan berhenti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline