Lihat ke Halaman Asli

Rinto F. Simorangkir

Seorang Pendidik dan lagi Ambil S2 di Kota Yogya dan berharap bisa sampai S3, suami dan ayah bagi ketiga anak saya (Ziel, Nuel, Briel), suka baca buku, menulis, traveling dan berbagi cerita dan tulisan

Natal Tanpa Kado Terindah

Diperbarui: 25 Desember 2018   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Tulisan ini bukan bermaksud bermelo-melo ria, juga bukan bermaksud sebagai ungkapan untuk  mengasihani diri sendiri. Tapi lebih kepada sikap hati untuk merayakan sesuatu hal yang perlu dirayakan. Sebab dalam hal perayaan bukan berarti melulu soal kemenangan demi kemenangan yang dirayakan. Termasuk kegagalan demi kegagalan juga patut dirayakan.

Meskipun dalam konsep yang berbeda dari kebiasaan orang banyak. Hal ini patut untuk kita renungkan bersama. Sebab kegagalan sejatinya adalah kesuksesan yang tertunda dan tentu semua kita sudah tahu tentang hal itu.

Natal kali ini ke kampung, sejatinya membawa pesan dan kabar baik bagi ke dua orang tuaku dan tentu juga ke mertuaku. Tapi hal itu, mungkin di tahun ini, hal itu belum menjadi kado yang terindah bagi mereka.

Meskipun memiliki nilai tertinggi bahkan tertinggi di jurusan formasi yang kupilih, tapi nyatanya dikalahkan oleh orang yang memang lulus murni. Hanya karena kurang 3 skor saja maka posisi kemenangan itu tentu akan bisa menjadi milik kami.

Memang sebelum pulang kampung saja pada natal ini,ketika menerima kabar itu saja tentu adalah kabar yang hebat mengguncang keluarga kecil kami. Dan ketika sampai kabar tersebut kepada orang tua kami, mungkin hal yang sama juga dirasakan oleh mereka.

Apalagi ketika ternyata, kawan-kawan segereja dan anak-anak dari orang tua, teman papa mamaku, ternyata mayoritas bisa masuk dan duduk pada posisi itu. Tentu ada semacam kecemburuan yang mungkin dirasakan oleh mereka. Tapi yah sudah lah, tentang hal itu mungkin keberuntungan belum berada di pihak kami.

Sebab bukankah hidup lebih penting daripada semua itu. Bukankah kesehatan jauh lebih berharga dari semua itu. Mensyukuri kegagalan tentu menjadi obat yang manjur. Hati yang tertekan dan semangat yang patah tentu akan melemahkan tulang-tulang kita. Maka kebahagiaan sejatinya adalah persoalan menata hati untuk bisa terus bangkit. Gagal yah bangkit lagi. Kalah yang mencoba lagi.

Kemudian ketika kulihat dan perhatikan lebih seksama lagi, ternyata aku gagal hanya di satu posisi itu saja. Aku bersama keluarga kecilku ternyata sudah memiliki banyak kemenangan yang tentu patut untuk dibanggakan. Salah satunya yaitu tulisan-tulisanku.

Untuk di tahun ini saja, sudah banyak karya yang kuhasilkan, dan jika kutotal ada sekitar seribuan banyaknya. Juga ada puluhan tembus ke media cetak, dan feedback-nya tentu bukan hanya dikenal oleh orang banyak, honornya juga lumayan. Bahkan kini tiap tulisanku, sudah bisa mengalahkan bulanan yang bisa kudapatkan.

Dan itu semua adalah proses yang terus akan berlanjut. Cuma PR-nya aku mungkin belum bisa memberikan sesuatu hal yang bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Suatu hal yang mungkin bisa dibanggakannya juga bersama dengan teman-temannya yang lain. Dimana ketika mereka cerita, tentu bisa nyambung dan saling membanggakan anak-anak mereka yang berhasil.

Saat ini sudahnya berhasil, meskipun konsep keberhasilannya beda  di mata mereka. Tapi jika seandainya ketemu teman-temanku, tentu diri ini tidak akan minder sedikitpun. Pasalnya harga diri dan kesuksesan kita pada saat ini bukan dipandang dari apa yang sudah kita miliki saat ini, tapi nanti kedepannya, karya apa yang mungkin bisa kita hasilkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline