Lihat ke Halaman Asli

Rinsan Tobing

TERVERIFIKASI

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

"Three Idiots" dan Pemilihan Presiden

Diperbarui: 15 April 2019   21:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: theasiancinemablogspot.com

Pernah menonton film three idiots, sebuah film India tentang kehidupan kampus dan perjuangan tiga mahasiswa dengan latar belakang berbeda dan tujuan yang tidak sama. Film ini dirilis pada 2009. Tetapi, ini bukan soal Rancho, Farhan dan Raju yang merupakan Three Idiots-nya. Ini tentang satu pesaing Rancho. Namanya Chatur. Rancho selalu menjadi sang juara,  Chatur selalu ingin mengalahkan Rancho. Mereka tinggal di asrama kampus.

Dalam persaingan untuk menjadi yang terbaik, Chatur memiliki teknik yang bisa dikatakan licik. Dalam prinsip Chatur, dalam persaingan menjadi yang pertama ada dua cara; kesatu, bekerja keras untuk menjadi yang pertama dan kedua, menurunkan kemampuan lawan dengan cara curang.

Cara curang Chatur cukup 'cerdas'. Dia mengumpulkan banyak majalah dewasa. Pada malam-malam menjelang ujian, dalam gelap malam, dia menyusupkan majalah-majalah tersebut ke kamar-kamar mahasiswa saingannya. Harapannya, pesaingnya akan menurun kemampuannya, karena mereka akan asyik dengan majalah dewasa yang dibagikan Chatur.

Alih-alih menaikkan kemampuannya, Chatur malah menurunkan dan mendegradasi kemampuan lawan-lawannya. Bisa jadi, dia tidak memiliki lagi cara untuk meningkatkan kemampuan. Dia tidak lagi bisa menaikkan kapasitas, sudah mentok dan putus asa. Hasilnya, dia menjadi yang terbaik kedua saja, karena yang terbaik pertama ternyata tidak mempan dengan caranya itu.

Tampaknya, dalam praktek yang berbeda, dalam proses pemilihan presiden Indonesia saat ini, tampak ada yang menerapkan cara yang dilakukan Chatur. Salah satu calon tidak berusaha meningkatkan kemampuannya dan menjadikannya yang terbaik untuk dipilih dengan cerita soal kemampuannya, prestasinya, programnya dan juga segala sesuatu yang hebat tentang kinerjanya.

Sang calon presiden, yang kebetulan penantang, malah asyik men-degradasi sang petahana. Narasi-narasi 'brutal' dan 'banal' ditumpahkan untuk menyerang petahana yang cenderung ramai dengan kinerja. Bahasa-bahasa yang digunakan untuk mendegradasi bahkan sudah melampau nalar sebagai seorang pemimpin yang seharusnya memberikan teladan bagi masyarakat yang hendak dipimpinnya. 

Bajingan dan ndasmu menjadi dua kata yang sering digunakan. Belum lagi banyak bertebaran narasi dan frasa yang merendahkan berbagai kalangan, mulai orang miskin, jurnalis dan juga pendukungnya.

Bahasa-bahasa merendahkan prestasi sang petahana diusung-usung kemana-mana. Setiap pidato yang katanya berapi-apa, narasi merendahkan kinerja petahana disemburkan. 

Ekonomi yang memburuk, negara yang akan bubar, hutang yang menumpuk, harga-harga yang mahal, pekerjaan yang susah, masyarakat miskin yang bertambah, dan bahkan menyerang sang menteri keuangan yang sudah tiga kali mendapatkan penghargaan tingkat dunia. Entah darimana informasi yang diterimanya, justru yang terjadi sekarang adalah kebalikan dari yang disemburkannya.

Narasi-narasi soal kinerja, kemampuan, prestasi dan kualifikasi dirinya sangat dipinggirkan. Tidak ada cerita soal keberhasilannya selain memanjat gunung Everest. Itu pun dia hanya memimpin tim tetapi tidak ikut mendaki.

Soal gelegar suara dan gebrakan podium, untuk kalangan pemilihnya dianggap sebagai bentuk prestasi dan disamakan dengan Soekarno, Bung Hatta dan Bung Tomo. Sebuah kegagalan berfikir tingkat dewa. Tetapi, itulah mereka. Narasi mereka lebih cenderung menyerang dan mendegradasi prestasi sang petahana. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline