Lihat ke Halaman Asli

Rina R. Ridwan

Ibu yang suka menulis

Berebut Dunia yang Pasti Musnah

Diperbarui: 3 Juli 2019   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari-hari ini, usai ditetapkan pemimpin terpilih, dunia media sosial gaduh dengan berita 'otak-atik' bakal pengisi jabatan di kabinet dan lainnya. Partai koalisi berebut untuk menempatkan kadernya di posisi yang dianggap terbaik. Bahkan tak lagi risih untuk saling 'mengancam' jika sampai tak mendapat porsi.

Rakyat yang  'sibuk' dengan kerakyatannya, sebagian menggelengkan kepalanya, sebagian lagi manggut-manggut. Betapa hebatnya dunia ini menipu. Dari jabatan, tahta, plus wanita. Bukan sekedar kiasan, namun terpampang jelas setiap hari dalam berita yang kini selalu terkait kata 'viral'. Dunia yang tak lebih dari kedipan mata pasti akan musnah. Bahkan setiap diri yang tak mampu mengetahui batas umurnya sendiri, sekaya apapun dia.

Banyak yang terlena dan melupakan tujuan hidup yang sebenarnya. Menganggap jabatan, juga limpahan harta sebagai kemuliaan, bukan sebagai ujian yang tak terperih saat amanah itu tak ditunaikan dengan baik. Semakin sedikit manusia pemberani saat ini. Berani berkata benar, berbuat benar dan tahu jalan kebenaran yang hakiki.

Yang menjadi tujuan sekarang hanyalah menumpuk materi, dengan beragam dalih dan tujuan. Bahkan tak sedikit yang peduli lagi pada kehalalan makanan yang disuapkan kepada anak-anak mereka. Agama hanya sebatas tertulis di kartu identitas, tak lebih. Dan hanya digunakan untuk mencapai tujuan saat memang dirasa perlu.

Semua orang-orang terpelajar yang sedang berebut di atas. Gelar berderet duniawi tak menjamin manusia memiliki akhlak yang mulia. Nafsu lebih diperturutkan, ketakutan-ketakutan yang tak beralasan bahkan belum tentu terjadi terus  diikuti hingga tak lagi mampu mengenali dirinya sendiri.

Semua bicara, semua meminta, semua merasa memiliki hak. Tampaknya rasa malu itu sudah tak lagi menyertai, hingga kebohongan, kecurangan, dan lainnya sudah dipertontonkan tanpa risih.

Barisan peduli terbagi dalam rombongan tulus, hanya ikut-ikutan dan berpamrih mendapatkan jabatan. Barisan lain yang memilih apatis, ujungnya tetap berteriak saat ketidak nyamanan akhirnya sampai juga pada mereka. Yang mengaku netral, tak lebih dari serombongan para penggerutu di balik layar dan hanya berani tampil saat semua usai.

Kegaduhan ini tampaknya tak akan segera berhenti. Menebalkan telinga, menyaring baik-baik setiap berita, dan banyak memperhatikan serta berpikir sebelum bicara, bisa jadi pilihan terbaik.

Setiap menit kegaduhan terus berganti topik, berganti arah layaknya angin ribut yang tak lagi tahu arah kemana dia akan pergi. Ya, bahkan untuk berani hening butuh keberanian saat ini. Bukan hening untuk berlari dari sebuah tanggung jawab, namun hening untuk belajar melihat dan mendengar dengan lebih dalam lagi.

...

Ah dunia,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline