Lihat ke Halaman Asli

Riko Noviantoro Widiarso

Peneliti Kebijakan Publik

Hari Buruh Harusnya Bergembira

Diperbarui: 1 Mei 2021   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Buruh momentum menjalin keharmonisan antara buruh dan pemodal. (foto: merdeka.com

Sejak tahun 2013, bangsa Indonesia resmi menikmati 1 Mei sebagai hari libur nasional. Penetapan libur nasional yang tertuang melalui Keputusan Presiden, tepatnya Keppres No.24 Tahun 2013 tentang Penetapan 1 Mei sebagai Libur Nasional.

Keputusan era Presiden SBY ini awalnya sempat kontroversi. Mengingat jumlah hari libur nasional sudah cukup banyak. Dikhawatirkan bertambahnya hari libur nasional berdampak pada merosotnya produktifitas bangsa.

Kendati demikian Presiden SBY tetap menandatangi keputusan tersebut. Dimana masa pemberlakuannya pada tahun berikutnya. Tentu pula penandatangan ini menjadi keputusan politk yang progresif. Dengan pertimbangan matang yang patut diacungi jempol.

Hari Buruh dan Makna Sosiologis

Mari simak tinjauan sosiologis Keppres 24 Tahun 2013 tentang Penetapan 1 Mei Sebagai Hari Libur yang ditandatangi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ini. Sebuah pesan menarik tersirat dari kebijakan tersebut. Pesan untuk semua pihak bergembiralah di Hari Buruh.

Pandangan itu terlihat pada pokok pertimbangan butir (b), yaitu berguna untuk membangun kebersamaan antar pelaku hubungan industrial agar lebih harmonis secara nasional. Dengan harapan Hari Buruh adalah momentum menumbuhkan kembali keharmonisan antara pemoda dan pekerja.

Tentu saja, pesan harmonisasi punya indikatornya. Harmonisasi yang memiliki titik temu pada sikap menghormati, menghargai dan melindungi antara sesama buruh, maupun antara buruh dan pemilik modal. Bukan sebaliknya. Apalagi sebatas harmonisasi dalam retorika yang terdengar setiap peringatan Hari Buruh.

Harmonisasi memang sebuah situasi yang nyaris jauh tergambarkan dalam hubungan buruh dan pemilik modal. Pertarungan buruh dan pemodal bagaikan kutukan yang tiada habisnya. Keduanya tumbuh sikap saling mencurigai antara buruh dan pemodal, yang merembes pada pola interkasi sosialnya.

Kaum buruh menaruh curiga atas kekayaan yang disimpan pemodal berlebihan. Tidak ingin membaginya. Padahal kekayaan pemodal itu merupakan jerih keringat para buruh. Begitu pula sebaliknya.

Para pemodal meranuh curiga atas pola kerja buruh. Kerap mencuri waktu untuk bermalas-malas, memanfaatkan aset perusahaan untuk pribadi buruh. Padahal sudah digaji dengan ukuran layak dalam pandangan pemodal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline