Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Pita Rambut Baru

Diperbarui: 22 Mei 2019   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Hari ini aku sangat kesal. Aku terlambat bangun pagi. Pita rambut yang baru kubeli, hilang. Mang Usor, tukang becak langganan, hanya tersenyum kecil ketika melihatku keluar dari dalam rumah. Selama perjalanan menuju sekolah, dia hanya diam. Baguslah, Mang Usor tahu aku sedang kesal.

"Sejak tadi kau cemberut terus, Adis. Kenapa?" tanya Yuni saat jam istirahat. "Hehehe, kau terlambat bangun pagi lagi, ya? Buku cerita itu memang bagus. Tapi jangan sampai membuatmu terlambat tidur dan terlambat bangun."

Apa yang dikatakan Yuni benar. Tadi malam aku terlambat tidur karena keasyikan membaca buku cerita. Buku cerita itu dipinjamkan Yuni, dan ceritanya sangat bagus. Buku cerita itu selesai kubaca ketika jam menunjukkan pukul sebelas malam.

"Tapi bukan karena terlambat bangun pagi yang membuatku kesal," gerutuku. Kuceritakan tentang pita rambut baru yang sama-sama kami beli di pasar.

"Ha, pita rambut itu hilang?"  Mata Yuni membesar. Lucu sekali melihatnya. Aku ingin tertawa, tapi rasa kesal menahan tawaku keluar.

"Iya! Setelah kita beli kemarin pagi, aku langsung menyimpannya di dalam lemari. Rencananya aku ingin memakainya hari ini." Aku melihat rambut Yuni. "Lho, kau juga tidak mengenakan pita rambut baru!"

"Pita rambut itu masih basah, Adis. Kemarin sore Ibu mencucinya," jelas Yuni seiring bel tanda jam istirahat selesai, berbunyi.

Lambat-laun   aku melupakan pita rambut baru itu. Kalau ada uang lebih, aku bisa membeli penggantinya. Namun saat pulang sekolah, rasa kesalku kembali datang. Aku tidak sengaja melihat ke arah rambut Vika. Hai, bukankah itu pita rambutku? 

Vika adalah adik kelasku. Rumah kami hanya dibatasi sepetak tanah. Berani benar anak itu mencuri pita rambut baruku.

"Vika!" jeritku. Dia menoleh sambil meringis. Kemudian dia berlari tunggang-langgang. Aku ingin mengejarnya. Tapi Yuni menghentikan langkahku.

"Buru-buru amat, Adis. Tunggu aku, dong!" ketus Yuni dengan wajah cemberut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline