Lihat ke Halaman Asli

Sepuluh Hari Ramadhan

Diperbarui: 5 Maret 2019   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Senja menua. Hatiku semakin gelisah. Berkali-kali aku mengintip dari balik tirai jendela. Tetap saja halaman kosong. Sesekali aku menajamkan pendengaran, toh tak terdengar suara halus ban mobil yang melindas halaman berbatu di depan. Kecuali tentu saja suara kendaraan bermotor di jalan sana yang seolah berkejaran dengan waktu berbuka puasa.

"Hati-hati lho, Nit! Ini awal petaka. Kalau suami mulai senang bersolek, kemungkinan dia sudah ada apa-apanya."

"Maksudmu!"

"Kau memang lambat berpikir. Ya, tentu saja dia sedang mendekati perempuan lain. Siap-siap saja kau diselingkuhi, atau mungkin saja dimadu!"

Sebenarnya sejak jauh-jauh hari, tak selintas pun aku berpikir kalau Mas Farid akan menyeleweng. Kehidupan kami berjalan adem-ayem. Hingga dua minggu belakangan ini, dia mulai sering bersolek. Mematut di depan cermin lumayan lama. Rambut yang tak biasa diminyaki, belakangan selalu licin---bahkan lalat pun bisa tergelincir. Dia yang enggan mengenakan parfum, kecuali deodoran, tiba-tiba membeli parfum yang kutaksir berharga mahal. Jambang, jenggot dan kumis dicukur gundul. Wajahnya mulus seibarat jalan tol.

Dan perbincanganku dengan Rohana dua hari lalu, adalah pemantik cemburu yang membakar dada. Aku hanya iseng bercerita tentang Mas Farid yang mulai suka bersolek. Tanggapan Rohana, tentu saja dengan mata melotot, juga menambahi dengan kata-kata seperti di atas. Coba, siapa yang tak cemas dibuatnya? Siapa yang tak cemburu? Siapa yang tak sakit hati?

Aku semakin sadar telah banyak kehilangan segala yang membuat Mas Farid tertarik. Yang paling utama tentu saja aku belum memberikannya keturunan. Tubuhku mulai gembrot dan bergelambir. Kesibukan di dapur dan membersihkan rumah, membuatku tak bisa menjaga wangi tubuh. Ini memang salahku, kecuali masalah keturunan. Tapi wajarkah Mas Farid membalas segala kekuranganku dengan menyeleweng?

Aku ingat pesan Mama bahwa kalau suami bertingkah, mulailah layani dia dengan perhatian penuh. Utamanya masalah perut. Dan itulah yang membuatku berkutat di dapur demi menggoda selera Mas Farid selama sepuluh hari Ramadhan ini. Aku tak ingin pernikahan kami yang telah berusia tujuh tahun, kandas di tengah jalan karena orang ketiga. Ya, kalaupun dia berbaik hati ingin memaduku, sungguh itu hanya belati yang menusuk ke ulu hati. Siapa toh yang tega dimadu?

Di atas meja sudah terhidang sop tulang, kolak dingin, sambal terasi, sayur kukus dan ikan asin bakar. Semua itu merupakan kesukaan Mas Farid. Tak lupa kusiapkan tahu goreng yang bisa kami nikmati saat santai usai shalat tarawih. Tapi ini, dia sama sekali belum pulang. Telah kusms dia, namun tak berbalas. Kutelepon, ponselnya sedang tak aktif. Hatiku semakin rusuh. Benar apa yang dikatakan Rohana, suami bersolek itu adalah awal petaka bagiku.

Beduk maghrib kemudian berkumandang. Tak berselera, kuseruput saja air putih hangat. Lalu tiga butir korma. Selain omongan Rohana yang menusuk dada itu, telah dua malam aku bermimpi melihat Mas Farid berjalan bersama seorang perempuan. Pertama dengan mantan kekasihnya saat kuliah. Kedua dengan perempuan yang tergila-gila kepadanya dari saat kami menikah hingga kini. Tiba-tiba kurasakan kepalaku berat.

"Ada apa, Nita?" samar suara Bunda di seberang. Sebetulnya masalah ini ingin kusimpan rapat-rapat di dalam dada. Bukankah lebih baik menyelesaikan masalah berdua Mas Farid saja? Semuanya harus kutanyakan. Semua harus jelas. Terang. Tentu sambil bersantai meminum teh hangat, bukanlah kesempatan langka untuk diciptakan. Kendati aku sendiri sudah lupa kapan kami terakhir kali bisa bersantai. Berbincang sambil mencurahkan hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline