Lihat ke Halaman Asli

Ridha Afzal

TERVERIFIKASI

Occupational Health Nurse

Etika Debat Rocky Gerung Vs Prof. Henry, Nyasar

Diperbarui: 31 Agustus 2020   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Fajar.co.id

 Sebenarnya saya sebagai pribadi cukup mengerti, content debat panas Dua Sisi, antara Rocky Gerung, Prof. Henry dari Menkominfo dan Ali Mochtar Ngabalin di TV One pada hari Kamis, 27 Agustus 2020 lalu, jika diadakan dalam ruang terbatas.

Yang jadi masalah, ketika Rocky dan Henry, dalam diskusinya terkesan 'menyerang pribadi' dari pada debat tentang isi diskusi mereka yang fokus pada 'Influencer', terjadi di TV. 

Mereka berdebat tetang hasil temuan Indonesian Corruption Watch (ICW), terkait dana pembiayaan Influencer yang mencapai Rp. 90.45 milyar, yang semua orang melihat bagaimana kualitas debat keduanya, sebagai orang terpelajar

Yang saya ingin bahas di sini bukan besarnya dana, atau dikemanakannya. Tetapi lebih pada bagaimana kedua tokoh tersebut mengedepankan etika berdebat.

*****
Saya mengenal peran 'etika' dari sejak masa anak-anak. Saya dikenalkan bagaimana bersikap, terhadap teman, kepada orang yang lebih tua, tetangga atau kepada orang lain yang tidak dikenal. Kedudukan etika ini begitu penting, seolah-olah tidak ada habisnya dibicarakan.

Sampai sekarang pun, etika tidak pernah selesai dibahas. Setiap daerah punya etika sendiri. Apa yang dianggap biasa di Aceh, bisa jadi dianggap luar biasa di Jawa. Demikian sebaliknya.  

Contoh kecil, di Aceh, orang dewasa pria di sana, tidak biasa mengenakan celana pendek, kecuali pendatang atau Turis. Ini adalah contoh sepele soal pakaian. Sementara di Jawa, pemandangan ini terlihat sangat umum.

Suatu hari, dalam perjalanan dari Malang menuju Surabaya, kami naik bus umum, tapi kami belum tahun harus turun di mana. Merasa belum tahu, kami bertanya pada salah seorang penumpang yang ada di depan saya.

Saya agak terkejut ketika yang menjawab bukan hanya satu orang yang berada di depan kami, sebagai orang utama yang kami tanya. Melainkan beberapa orang ikut serta menjawab, seperti 'berdebat'. 

Bagi kami, di Aceh, ini tidak umum. Di Aceh, sepertinya kami tidak 'akrab' pada situasi seperti ini. Mungkin karena memang budaya yang berbeda.

Di sinilah peran etika yang sangat subyektik. Apa yang baik bagi kita baik, belum tentu dianggap benar bagi orang lain. Yang benar pun bagi kami, belum tentu baik bagi orang lain.  Demikian sebaliknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline