Lihat ke Halaman Asli

Kepenyairan Jatim Selayang Pandang

Diperbarui: 12 Oktober 2015   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kepenyairan Jatim Selayang Pandang

Penyair tumbuh subur di wilayah Jawa Timur. Generasi baru terus bermunculan. Berkarib tengkar dengan penyair generasi sebelumnya. Memang ada yang datang dan pergi alias sekadar mampir tetapi tidak sedikit pula yang tetap mencoba untuk bertahan mendedahkan konsep ataupun strategi kepenyairan.

Secara selayang pandang, beberapa fenomena patut dicermati. Semisal pada awal kemerdekaan dan selama penjajahan, puisi berbahasa Indonesia belum terlalu populer di Jawa Timur. Perlu diperhatikan pula, pada zaman orde lama, Jatim pernah memunculkan puisi-puisi yang unik. Puisi-puisi yang tidak mengedepankan tema religius maupun cinta tetapi tema kerja. Lantas adanya pencapaian pluralistik dari estetika para penyair era orde baru hingga terkini. Belum lagi fenomena penyair perempuan Jatim yang cenderung datang dan pergi. Kesemuanya patut dicermati.

Tulisan ini, sekali lagi, sebatas uraian selayang pandang. Merupakan pengembangan dari beberapa tulisan saya telah lalu. Ada banyak celah dalam tulisan ini, utamanya adalah data. Saya menulis berdasarkan data yang saya miliki dan dapat saya jangkau. Itu artinya, saya berharap muncul banyak tulisan lain dari penulis lain tentang kepenyairan Jatim. Beragam tulisan yang nantinya diharapkan bisa saling melengkapi sehingga terbangun sejarah kepenyairan Jatim yang cukup kokoh.

Masa Kemerdekaan

Berbeda dengan saat sekarang, selama perang kemerdekaan hingga tahun 1950-an, kepenyairan di Jatim bisa dibilang kurang semarak. HB Jassin dalam bukunya Gema Tanah Air (cetak 1: 1948, cet 6: 2013) yang mencatat sastrawan angkatan 45 hanya memasukkan empat penyair kelahiran atau yang berproses di Jawa Timur. Ini sangat dimungkinkan karena penggunaan bahasa Indonesia belum terlalu melekat di masyarakat, termasuk penulis. Dalam keseharian, masyarakat Jawa Timur lebih akrab dengan bahasa Jawa. Dan memang, tradisi sastra Jawa (gurit, tembang, maupun cerkak) tumbuh sangat subur.

Pertama, Supii Wishnukuntjahja yang dihirkan di Kesamben, Blitar, tahun 1928. Dalam perjalanan proses kreatifnya, Supii sempat bekerja di majalah Berontak Magelang, Bakti Mojokerto, dan Sasterawan Malang. Kutipan puisi judul ‘Perbuatanku’ dari Supii: Saat ini aku menangis, di punggung. Khalayak ngekor bersedih hati di kursi. Banjir air mata melimpahi gedung komidi. Tabir tertutup. Rapat terkatup.

Kedua, Trisno Sumardjo yang dilahirkan di Surabaya, tahun 1916. Kiprah Trisno Sumardjo sangat komplit. Dia menulis puisi, novel, menerjemahkan karya luar negeri, dan gemar melukis. Sayangnya, Trisno sepertinya hanya nunut lahir di Surabaya. Proses kreatif dan aktivitas keseniannya lebih banyak dilakukan di Yogyakarta, Solo, dan Jakarta. Kutpan puisi ‘Syair-syair Kecil tentang Hidup” karya Trisno Sumardjo: Kerja sehabis tenaga dan sisanya untuk cinta. Anak terlahir antara letih dan tak sengaja. Dia pun tumbuh, mengulang riwayat ibu dan bapa. Dia pun hidup dan tak tahu Hidup yang sebenarnya.

Ketiga, Kasim Mansur. HB Jassin hanya menuliskan biodata singkat dari Kasim Mansur, yakni lahir di Surabaya, 1 Mei 1923. Tanpa penjelasan apapun. Tampaknya, HB Jassin sendiri hanya mengenal karya puisinya tanpa mengenal kiprahnya dalam jagad kesenian. Padahal Kasim Mansur termasuk produktif dalam berkarya. Terlihat dari lima kali pemuatan puisinya di Mimbar Indonesia, yakni ediri 15 Mei 1948, 2 Juni 1948, 19 Juni 1948, 3 Juli 1948, dan edisi 10 Juli 1948. Inilah kutipan puisi “Alpa” dari Kasim Mansur: Inikah panti berkabut lagi. Tempat ombak pecah, mendaki. Atau, pulau beraneka kumbang. Paman tani, jadi pahlawan.

Keempat, Muhammad Ali Maricar, lahir di Surabaya, 22 Agustus 1925. Inilah penyair atau sastrawan Surabaya paling mendapatkan perhatian dari HB Jassin. Beberapa buku Muhammad Ali bisa diterbitkan berkat rekomendasi dari Jassin. Gerak berkesenian Muhammad Ali juga lumayan lengkap. Dia menulis puisi, cerpen, kritik sastra, naskah drama, bermain musik, dan gemar melukis. Menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Pegawai kantor Kotapraja Surabaya ini juga menjadi redaktur media bulanan Mimbar Pemuda dan Mingguan Pahlawan.

Tulisan-tulisan Muhammad Ali termaktub dalam 5 Tragedi (1954), Siksa dan Bajangan (1955), Persetudjuan dengan Iblis (1955), Kubur tak Bertanda (1959), Hitam atas Putih (1959). Berikut kutipan puisi “Lumpur dan Sinar” dari Muhammad Ali: Suatu ketika, biduk akan terdampar di karang: tanah dan mega tandus terbakar. Di situlah aku melolong gemas. Dan anjing menyalak; ‘O, pencari mimpi.’ Ini orang bertabur bisul, berbaju karat, tiada pintanya lagi: Mandi dalam kolam dingin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline