Lihat ke Halaman Asli

Al Iklas Kurnia Salam

Kata bukanlah sekedar rangkaian huruf. Kata menyimpan makna yang di dalamnya bisa mengubah hati seseorang

Resensi: Natsir dan "Masalah Palestina"

Diperbarui: 3 April 2020   14:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Judul: Masalah Palestina
Penulis: M. Natsir
Penerbit: Hudaya Jakarta
Tahun Terbit: 1971
Tebal: 80 Halaman 

Dunia ini kini telah memasuki suatu era baru, sebuah era yang tercipta dari hasil pemadatan, peringkasan, pengecilan, percepatan, dan mungkin juga pemalsuan. Hal ini mengacu pada penemuan teknologi industri dan revolusi informasi. Informasi kini membl udak. Penemuan teknologi saat ini meluber, melampaui batas imajinasi. Hasilnya, manusia tertimbun oleh beragam hal sehingga sulit mencari jeda untuk berpikir dan membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Dunia kini hanya sebesar telapak tangan. Dunia kini bisa kita bawa kemana-mana di dalam kantong saku kita. Bahkan kita bisa menemukan apapun dan melakukan apapun dalam dunia yang kecil tadi. Ponsel adalah bentuk mutakhir dari dunia baru tersebut. Di dalam ponsel seolah dunia bisa dilipat-lipat seperti yang disebutkan Yasraf Amir Piliang di dalam buku terkenalnya.

Babak lanjutan dari fenonema dunia yang dilipat tadi (atau bisa disebut juga dunia cyber) adalah fenomena yang disebut post-truth, suatu fenomena yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai pasca kebenaran. Dalam fenomena post-truth, kebenaran merupakan sebuah nalar yang tanpa fakta. Kebenaran merupakan bentuk kepalsuan yang diulang-ulang, disebarluaskan, dan diyakini sehingga mewujud jadi kebenaran transenden. Hoax atau berita bohong merupakan bagian integral dari wujud nyata post-truth.

Dalam upaya menanggulangi bahaya kefanatikan, sesat informasi, dan kedangkalan berfikir itu, saya bersemangat untuk membaca buku karya M. Natsir berjudul Masalah Palestina. Saya ingin menemukan kebenaran sejati dan tak ingin tersesat dalam memahami realitas persoalan yang terjadi di Palestina. Saya berpikir, daripada saya membaca berita dalam bentuk potongan-potongan informasi digital, lebih baik saya membaca sebuah buku yang membahas masalah tersebut secara tuntas.

Dan pilihan pun jatuh pada buku Nasir tersebut. Mengapa? Sebab, saya anggap Natsir merupakan seorang negarawan besar yang pernah dimiliki Indonesia. Sebab, Natsir merupakan seorang cendekiawan yang mampu berpikir objektif dan kritis (suatu sikap yang jarang kita lihat hadir pada politisi kita saat ini). Sebab, ia adalah aktor yang terlibat langsung di awal perjuangan pembebasan masalah Palestina dan mengetahui secara pribadi permasalahan ini. Ketiga sebab tersebut membuat hati saya sumringah dan berdegup kencang saat membuka lembaran awal buku langka yang saya beli di pasar loak ini.

Tidak Sesuai Ekspektasi

Setelah menyelesaikan buku karya Natsir ini, kesan saya yang pertama-tama adalah sedikit kecewa. Saya anggap ini merupakan bentuk sikap wajar saya. Sebab, harapan-harapan saya tentang buku ini tidak terwujud.

Saya berharap Natsir bicara dalam bahasa yang universal dan tidak terlalu sempit dalam satu perspektif saja.

Namun yang terjadi, Natsir hanya bicara dalam perspektif politik islam dan sebagai seorang muslim saja. Dari situ kecenderungan Natsir yang bekas petinggi Masjumi terlihat. Natsir berbicara dengan dalil-dalil agama dan kecenderungan islamisme saja.

Saya rasa hal ini kurang benar, sebab, seperti mengutip kata-kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, "kita tak harus menjadi seorang muslim untuk membela Palestina, kita cukup menjadi manusia saja". Kata-kata Erdogan itu, saya rasa, lebih memiliki getaran daripada seruan persatuan umat islam yang hampir memenuhi halaman-halaman buku ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline