Lihat ke Halaman Asli

Reidnash Heesa

Mohon Tunggu....

Nasionalis-Nasionalis Gadungan Yang Berkeliaran di Republik Ini

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14331515801765257328

Hari ini adalah tanggal satu Juni, mengawali tulisan ini, izinkan saya secara pribadi dan juga mewakili teman-teman penulis di republik Kompasiana ini mengucapkan selamat Hari Kelahiran Pancasila untuk setiap anak bangsa di seluruh pelosok negeri Nusantara. Tahun ini, Yogyakarta boleh kembali berbangga karena dipercayakan kembali menjadi kota penyelenggaraan Kongres Pancasila yang ketujuh, dimana sebelumnya direncanakan di kota Balikpapan ternyata mau tidak mau harus dibatalkan akibat kendala teknis.

 

Kongres Pancasila pertama kali diselenggarakan pada tahun 2009 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dan berturut-turut setiap tahunnya kampus-kampus negeri di kota-kota seperti Denpasar, Surabaya bahkan Ambon telah didaulat menjadi tuan rumah pelaksanaan kongres yang diprakarsai oleh Pusat Studi Pancasila (PSP).

 

Selama dua hari mulai dari tanggal 31 Mei sampai dengan 1 Juni 2015, Kongres Pancasila ketujuh, bertempat di Balai Senat UGM Yogyakarta. Dengan mengusung tema Membangun Kedaulatan Bangsa Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila, Pemberdayaan Masyarakat dalam kawasan Terluar, Terdepan dan Tertinggal (3T), diharapkan adanya penegasan yang sungguh-sungguh, khususnya di antara para peserta kongres bahwa Pancasila adalah kebenaran yang hidup dan kehadirannya ada bersama seluruh rakyat Indonesia, termasuk yang berada di kawasan perbatasan. Seperti yang kita ketahui bersama, selama ini kedaulatan bangsa sering tercoreng di wilayah perbatasan akibat kurang tidak seimbangnya kebijakan pembangunan di wilayah tersebut.

 

Dalam pidato orasi kebangsaan yang disampaikan pada sebuah sesi acara di kongres ini, Prof. Dr. Syafii Ma’arif, seorang budayawan, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang beberapa waktu lalu dipercayakan sebagai Ketua Tim Sembilan Penyelesaian Konflik KPK-Polri menyatakan dengan tegas bahwa proses pembentukan nasionalisme kebangsaan Indonesia belum usai. Sejak zaman perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajahan yang menguasai bangsa ini dengan sistem kolonialisme dan feodalisme, semangat nasionalisme menurut Buya adalah kekuatan dahsyat yang berhasil mengguncang dan melawan kekuatan asing. Namun setelah Indonesia menjadi sebuah bangsa yang merdeka, dalam perjalanan semangat berbangsa dan bernegara hingga saat ini, nasionalisme yang semula tajam telah berangsur-angsur menjadi tumpul bersamaan dengan lumpuhnya hati nurani dan akal sehat pada sebagian golongan/ kaum elit di negeri ini.

 

Selanjutnya Buya menjelaskan di tangan para kaum elit inilah kedaulatan bangsa hampir tergadai terutama di ranah ekonomi. “ Yang banyak berkeliaran adalah nasionalis-nasionalis gadungan yang telah mati rasa dan tidak menghiraukan tujuan kemerdekaan bangsa. Mereka adalah rombongan pragmatis tuna moral dan tuna visi “ tutur Buya dengan nada tegas. Kekuatan penghambat terbesar salah satunya berasal dari internal yakni oleh saudara kita (bangsa) ini sendiri sehingga tantangan terbesar nasioanlisme Indonesia sekarang adalah memulihkan kedaulatan itu sepenuhnya dengan pertama, memberi arah baru pada konsep nasioanalisme, kedua, bangsa Indonesia harus berkonsolidasi serta menjawab tantangan masa depan dengan kepala tegak dan percaya diri tinggi sebagai warga negara yang merdeka.

 

 

sumber ilustrasi : di-sini




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline