Lihat ke Halaman Asli

Rionanda Dhamma Putra

Ingin tahu banyak hal.

Kurva Laffer dan Omnibus Law Kita

Diperbarui: 23 Januari 2020   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://thehousesometimeswins.com/

Sejak Presiden Jokowi dilantik kembali untuk periode kedua pada 20 Oktober 2019, wacana Omnibus Law sudah berhembus kencang. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan kumpulan legislasi ini adalah sweeping economic reforms yang dianggap mampu mendorong kompetitifitas perekonomian kita. Mengapa anggapan demikian bisa muncul?

Anggapan ini muncul karena isi dari berbagai legislasi tersebut. Ada penyederhanaan izin investasi yang merevisi banyak UU sebelumnya. Sistem penggajian buruh juga diubah menjadi per jam. 

Selain itu, insentif pajak seperti tax holiday, tax allowance, dan lain sebagainya disatukan dalam satu klaster. Namun, bagian utama yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah pemotongan tarif PPh Badan/PPh 23.

Dalam Omnibus Law, tarif tertinggi PPh 23 akan dipotong dari 25% menuju 22% dan 20%. Angka 22% akan berlaku pada tahun fiskal 2021-2022. Sementara, tarif 20% akan berlaku pada 2022-2023. 

Selanjutnya, perusahaan yang go public akan menerima pemotongan sebesar 3% dari tarif tertinggi. Sehingga, perusahaan publik akan menerima tarif pajak sebesar 19% dan 17% respectively (kemenkeu.go.id, 2019).

Melalui pemotongan ini, pemerintah ingin menciptakan sebuah sistem pajak yang lebih kompetitif. Dengan kata lain, sebuah sistem pajak yang lebih mudah dipahami dan less burdensome

Sehingga, biaya-biaya yang harus dibayar dalam berbisnis di Indonesia bisa dikurangi. Pengurangan inilah yang menarik investor untuk berinvestasi di Indonesia (pajakku.com, 2019).

Lantas, bagaimana perkiraan dampak pemotongan pajak ini terhadap penerimaan pemerintah? Untuk mengetahuinya, mari kita tinjau melalui analisis Kurva Laffer. Apa itu Kurva Laffer?

Kurva Laffer adalah sebuah teori yang menjelaskan hubungan antara tingkat tarif pajak dan penerimaan pajak pemerintah. Dalam kurva ini, dijelaskan bahwa tarif pajak 0% dan 100% tidak akan membawa penerimaan bagi pemerintah. Mengapa? Pada tarif 0%, rakyat tidak membayar pajak. Pada tarif 100%, rakyat enggan bekerja dan membayar pajak.

Sehingga, ada tingkat tarif pajak yang memaksimumkan penerimaan pemerintah. Bagian sebelah kiri puncak kurva disebut sebagai Prohibitive Range, di mana kenaikan tarif pajak mendorong penerimaan pajak pemerintah. 

Sementara, bagian sebelah kanan puncak kurva mengalami hal yang sebaliknya. Kenaikan tarif pajak justru mengurangi insentif individu untuk bekerja dan membayar pajak, mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak pemerintah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline