Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan, Kebudayaan dan Ideologi: Intrepretasi Ulang-Alik Hubungan Kekuasaan dan Pendidikan dalam Naskah Lakon Mastodon dan Burung Kondor

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jujur aja nih, kali ini kita akan berkubang dalam isu yang agak-agak berat nih. Yup, kita akan ngomongin hubungan antara kekuasaan dan pendidikan, yang nantinya bakal kita hubungkan lagi ke dalam naskah drama karya WS Rendra yaitu Mastodon dan Burung Kondor.

Tapi sebenernya masalah ini nggak gitu berat-berat amat sih… Sebab masalah kekuasaan dan pendidikan ini toh gampang diketemuin kok bentuk nyatanya di kehidupan kita sehari-hari. Lagian juga kan WS Rendra itu orang terkenal gitu loch… Kalo nggak percaya, coba deh buka buku cetak Bahasa dan Sastra Indonesia 1 karangan Andoyo Sastro Miharjo terbitan Yudhistira tahun 2010; pasti didalemnya ada nama WS Rendra dan beberapa kutipan dari karya-karyanya. (So whaaat…!?).

Rendra dan Google

Singkat kata, WS Rendra itu seorang sastrawan dan dramawan. Nah pas tahun 1973 dulu, dia tuh mentasin sebuah drama karangannya sendiri berjudul Mastodon dan Burung Kondor yang ikut memicu sebuah peristiwa besar di Indonesia pada tahun berikutnya (yaitu di tahun 1974—red) yaitu Peristiwa Malapetaka Limabelas Januari, atau biasa disingkat sebagai Peristiwa Malari. Kalo temen-temen mau tau cerita lengkap tentang Peristiwa Malari, coba deh googling di Google. Banyak kok informasi bertebaran soal itu. Lumayan lah, buat nambah-nambah wawasan.

Lagian Tuhan menciptakan manusia kan sebagai makhluk berakal; dan dengan akal manusia menciptakan Google. Trus kenapa kita sebagai makhluk berakal kok suka ngerasa semakin o’on aja deh dari hari ke hari. Kalo ngobrolin sesuatu yang nggak dikuasain banget rasa-rasanya nggak nyambung, trus minder, trus jadi alay deh… Padahal di jaman kita sekarang ini kan ada Google. Kalo nggak ngerti sesuatu yah tinggal ketik aja apa yang nggak dingertiin itu di om Google, trus klik search deh, bereees… Tapi nih, kalo yang nggak dingertiin itu adalah perasaan seseorang, jangan deh coba-coba kamu search di google karena nggak bakalan nemu. (Ini apaaa coba!? Kenapa jadi gue yang nggak nyambung…).

Mastodon dan Burung Kondor

Ok. Back to the topic. Jadi, di dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor itu si WS Rendra melontarkan banyak kritikan kepada pemerintahan Orba saat itu. Karena kritikannya saat itu dianggap terlalu keras oleh pihak pemerintah, lakon inipun dicekal. Dan aktivitas berkesenian sang sastrawan yang berjuluk si Burung Merak ini pun juga dibanned, alias dilarang, oleh pemerintah selama beberapa tahun seusai pementasan terakhir Mastodon dan Burung Kondor di Senayan.

Kritikan-kritikan di dalam drama ini berkisar persoalan praktik kekuasaan yang mencerminkan praktik kekuasaan Orba pada pelbagai segi kehidupan masyarakat saat itu. Namun begitu, Rendra memberikan penekanan khusus tentang kekuasaan dalam dunia pendidikan di dalam drama ini. Seorang tokoh bernama Yuan Frederikho dengan lantang dan gagah berani meneriakan semangatnya untuk melancarkan perubahan berdasar pada ketidakberesan yang dirasakannya di dalam dunia pendidikan:

“Kita tidak pernah mendapatkan bimbingan jiwa yang sebenarnya. Karena sementara alam pikiran kita siap terbuka untuk menerima pencerahan ilmu pengetahuan, kita justru malahan diberi ajaran doktrin-doktrin dan dogma-dogma yang tidak boleh dipertanyakan”.

Dan lagi:

“Proses mencari kebijaksanaan, proses menyusun kebijaksanaan dan proses mengolah kebijaksanaan, tidak pernah kita alami di dalam pendidikan ini. Dan kita diajar menerima kebijaksanaan yang harus kita hafalkan dan tidak boleh kita persoalkan” (Rendra 2011: 33).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline