Lihat ke Halaman Asli

Suah Purnama

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lucut saja radang ini. Sebab bumi bukan lagi kertas nasi. Namun satu dua persimpanganmu yang rembesi pori-pori kepalaku. Lewat sela-sela rambut, adalah malam-malam yang mendadak onar. Tapi bukankah pengertian memang tak pernah dibuat dari berjebah salam salam; sambung-sambung sapaan; seribu satu rasian. Orang biasa membuat pengertian dari setandan pisang masak pada tiap-tiap pohon. Dan, teman, pengertian harus diciptakan dari sira yang rileks mengental pada patah-patah ombak ulang-alik yang berkelaluan.

Sementara itu, waktu adalah tipikal yang merusak sekaligus melahirkan prospek-prospek dalam rat--acap menggenang kemuakan yang meluat, juga perjumpaan-perjumpaan baru yang manis esok-esok hari. Waktu di zaman kita bertukar kerentaan dan kanak, saat darah menderu di ketukannya empat per empat. Yang membisu adalah kematian sia-sia. Seperti juga deadline-deadline yang bisu selalu menjadi hantu yang menyeringai sepanjang hari-hari. Nurani mati. Aku asing.

Apa pendapatmu tentang hantu, hai temanku orang asing? Bukankah itu samudra yang tidak pernah diselami. Atau padang-padang yang tidak pernah dijelajahi. Atau gunung-gunung tinggi tinggi. Atau muka depan zaman yang belum dilalui. Adakah hantu yang layak ditakuti hanya sebab tak dimengerti? Adakah yang benar-benar dapat dimengerti? Manusia takut hantu, namun terbiasa mencintai keabadian dalam bungkus-bungkus cokelat kemasan instan. Cokelat-cokelat yang beku. Waktu beku. Keabadian hangat melumer dalam tiap-tiap senyuman. Sayang, selalu juga ada yang membeku karena perangai kebodohan.

Karenanya, biar saja waktu itu, tapi jangan ia harus mendayung perahu. Karena sementara itu kepala-kepala meledak dalam guci-guci tua. Serta dendam yang berenang-renang dalam nadi-nadi kita. Biarkan kejujuran saja memegang caisnya. Sebab harapan, teman, sepeti biasa, dalam kenyataan adalah sejahat-jahatnya iblis yang mengulur-ngulur tragedi.

Maka lucut saja radang ini. Sebab bumi selalu memiliki paginya sendiri.

Dan bila suatu hari hujan turun di bulan ini, maka semoga masih cukup satu lagi samudra yang tersisa.

Ah... bila kau bertanya?

Apa?

Apa itu cinta?

Itu yang selalu aku lupa.

Ra.Ya.P.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline