Lihat ke Halaman Asli

Ramadianto Machmud

Citizen Journalism

Sang Gladiator: Harga Sepadan Untuk Sebuah Kehormatan

Diperbarui: 27 Mei 2021   00:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

harga sepadan seorang kehormatan gladiator/foto: reallusion.com

Sang Gladiator, itulah sebutan yang pantas disematkan pada sosok penulis. Wujud itu terpancar dari kegigihan dan keberaniannya menghadapi praktek mafia penjualan buku bajakan di Negeri Warawiri. Buku-buku hasil karyanya dibajak dan diperjual-belikan dengan harga murah. Miris sekaligus ironis, ketika pemerintah tak bergeming dengan keluhannya.

Bagi seorang penulis, buku bukan saja media bacaan. Tapi juga periuk bagi pembuatnya. Ada banyak kehidupan yang menggantung disana. Laksana pohon dengan asupan energi yang baik dan benar, membuat pohon itu semakin tinggi, besar, cabang-cabangnya pun melebar, membentuk sebuah atap, juga rumah guna menaungi makhluk-makhluk didalamnya.

Setiap huruf, kata yang digubah menjadi sebuah kalimat hidup yang sarat makna itu, hingga membentuk alur cerita, tidaklah mudah bagi seorang penulis. Butuh proses panjang, hingga berdarah-darah. Tujuannya, agar setiap pembaca dapat menikmatinya. Di setiap tulisan, ada suka dan duka, serta memori tersendiri bagi penulisnya. Itulah kenapa disebut sebagai Maha Karya.

Namun, disaat yang berbeda, secara terang-terangan, para mafia dengan sengaja melucuti semua kenangan itu. Dengan liarnya menggerogoti gengsi dari sebuah karya yang dihasilkan dengan susah payah. Mereka diibaratkan seperti benalu yang tak tahu malu. Menempel di batang pohon dan menyerap semua asupan energi yang ada. Perlahan-lahan namun pasti. Pohon itu akan kering dan tak bermanfaat sama sekali.

Baca juga: Kehebatan di Balik Kata-kata

Sang Gladiator, Terkesan Kasar dan Arogan

Sang Gladiator kini berada di pusaran arena 'Coliseum' para mafia buku bajakan. Tak mungkin ada asap mengepul, kalo tak ada api yang membara. Awalnya sopan serta santun dengan segala bujuk rayu yang dimiliki seorang penulis. Mengajak, merangkul, mengimbau untuk membeli sebuah karya yang original dan bukan bajakan. Namun, segalanya dirasa sia-sia.

Butuh waktu cukup lama, sikap seorang penulis, berubah kasar dan arogan. Semakin gencar kampanye  #StopBeliBukuBajakan, bukan semakin sadar, tapi peminat buku bajakan pun makin gila dan liar. Tak berhenti disitu, dengan gencarnya meremehkan hasil karyanya. Sungguh mencelengkan tingkah laku warga Warawiri. Bukannya menyadari kesalahan, malah menyerang balik.

Panas, hujan, dingin, hangat, semuanya punya batas waktu. Apalagi bentuk kesabaran yang dibangun sebagai bentuk pertahanan. Mengalah bukan untuk berserah, tapi menunggu satu kesempatan. Menyerang bukan untuk menyakiti, namun membangunkanmu dari ketidaksadaranmu. Sebegitu parahnya, mereka yang tak menghargai kerja keras seorang penulis. Kasar dan arogansi sangat cocok ditujukan bagi mereka.

Silih berganti, ada yang memuji, ada pula yang nyinyir. Tak mengapa. Asalkan celoteh Sang Gladiator didengar, dan mendapat tempat dihati para pembaca sekaligus haters. 

Mengutip kalimat penulis Khrisna Pabichara Marewa, "kalaupun Tere Liye memilih bersikap keras, dengan menggunakan kata "dungu", boleh jadi itu strategi, agar seruannya didengar dan diindahkan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline