Lihat ke Halaman Asli

Ramadianto Machmud

Citizen Journalism

Tak Ada yang Namanya Objektif

Diperbarui: 12 Maret 2021   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : pastiguna.com / subjektif dan objektif

Kebenaran adalah hal yang sifatnya subjektif. Keadilan pun sama halnya. Tak ada yang namanya objektif. Semua hal, tak terkecuali. 

Objektif adalah bentuk dari pernyataan diri terhadap kebenaran atas dasar pembenaran. Dan pembenaran ialah kosakata lain dari pilihan.

Jika berada dalam situasi pelik nan sulit dan hanya ada beberapa pilihan, maka satu-satunya keputusan yang akan diambil tergantung pada rasa dan intuisi saja.

Sebab pengambilan keputusan disaat yang tepat, tidak peduli benar atau salah, akan berpengaruh pada langkah selanjutnya. Bentuk inilah yang sering saya anggap "Karma".

Pilihan objektif, keputusan objektif, pemikiran objektif, bukanlah hasil murni. Melainkan hasil reduksi dari apa yang didengar, dirasakan, dilihat, dialami secara nyata, dan dilakukan sendiri.

Tetapi ada juga yang dihasilkan melalui tindakan spontan. Aksi tak terduga. Akibat respon cepat otak yang melahirkan sesuatu, tindakan random.

Banyak para ahli terjebak dengan hasil pemikirannya sendiri mengenai konsep objektif dan subjektif. Tragisnya, konsep yang mereka ciptakan sendiri berbalik meruntuhkan sendi-sendi pemikiran baku.

Dan membangunnya pun butuh waktu lama. Hal ini dianggap ideal oleh para cendekiawan. Mereka berpendapat, buah pemikiran lama dengan sendirinya bakal hilang, bila pemikiran baru nantinya akan muncul.

Perlu di garis-bawahi, bahwasanya hal-hal yang bersifat fakta dan juga data dihasilkan dari sebuah asumsi, pendapat, serta kepercayaan diri atas interpretasi seorang ahli. Se-objektif mungkin hal-hal itu dilakukan, pasti akan melahirkan fanatisme subjektif.

Kok bisa? Kenapa begitu? Jawabannya dapat diketemukan bersama peristiwa-peristiwa sekitar yang akan membentuk pola pikir sendiri atas apa yang sedang terjadi.

Itulah sebabnya, para expert di era abad pertengahan sering menjadi rujukan liar, 'Generasi Subjektif, Bertopeng Objektif,' atas fenomena disekitarnya. Sejarah sering dipakai menjadi bahan pokok utama pemikiran objektif, yang mana outputnya subjektif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline