Lihat ke Halaman Asli

Rahmat Thayib

Sekadar bersikap, berharap tuna silap.

Semua Akan Demokrat pada Akhirnya

Diperbarui: 27 Mei 2019   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  Ketum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyno (SBY) dan Ketua Kogasma AHY (jurnas.com)

Saya masih ingat sekali pidato politik Ketum Demokrat SBY pada 17 September 2018. Kala itu SBY kembali menekankan politik yang berkeadaban. Perjuangan politik harus dilakukan dengan cara-cara yang baik.

Ketika membangun kesepahaman dengan Prabowo menjelang Pilpres 2019, SBY juga kembali mengajukan syarat ini, yakni jangan sampai politik identitas/SARA mendominasi Pemilu 2019. Belakangan seruan SBY ini dilanjutkan oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). 

Komandan Kogasma Demokrat ini menegaskan bahwa Demokrat menolak politik identitas/SARA yang mengancam persatuan bangsa. AHY juga menyerukan pentingnya rekonsiliasi yang jujur dan berkeadilan pasca Pemilu 2019. Pasca pemungutan suara muncul seruan baru: menyelesaikan sengketa Pemilu 2019 secara konstitusional.

Sayangnya, seruan SBY direspon dingin oleh elit politik. Seruan AHY juga diabaikan. Parahnya pengabaian ini juga diikuti dengan aksi-aksi tidak terpuji. Badai bully dan fitnah menghantam kader-kader Demokrat bertubi-tubi. 

Dilakukan pembunuhan karakter terhadap SBY, AHY dan kader-kader Demokrat secara massif. Begitu kejamnya badai itu sampai-sampai Ibu Ani Yudhoyono yang dalam perawatan akibat sakit kanker darah pun turut difitnah. Tapi toh kader-kader Demokrat tetap bersabar. Mereka percaya kalau Tuhan tidak tidur.

Tetapi faktanya, kekhawatiran Demokrat terbukti benar. Politik identitas/SARA memicu pembelahan bangsa. Krisis kepercayaan kepada penyelenggara pemilu menyebabkan BPN Prabowo-Sandi menolak menyelesaikan sengketa pemilu secara kontitusional. 

Puncaknya, keengganan elit politik untuk membuka ruang dialog membuat suasana politik terus dan semakin memanas. Terlebih, pemerintah terkesan represif dalam menghadapi partisipasi masyarakat dan kebebasan berpendapat ini.

Puncaknya Jakarta rusuh. Besar kemungkinan ada yang bermain api di antara konflik dua kubu. Tapi akarnya tetap sama, yaitu perjuangan politik dengan menggunakan cara-cara yang kurang baik. Mujurnya, bangsa ini cepat siuman.

Rusuh Jakarta menjadi titik balik munculnya kesadaran bangsa. Media massa mulai terangan-terangan mengangkat isu bahaya politik identitas/SARA. BPN Prabowo-Sandi melunak dan menempuh jalur konstitusional. 

Sementara TKN Jokowi-Ma'ruf Amin mulai menahan diri untuk merayakan kemenangan versi pengumuman resmi KPU. Tanpa sadar, kedua kubu mulai bergeser untuk melakukan apa yang diserukan Demokrat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline