Lihat ke Halaman Asli

Rafli Marwan

Bahasa, sastra, dan Budaya

Demi Jabatan

Diperbarui: 7 Agustus 2019   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam novel "Anak Semua Bangsa" Pramoedya Ananta Toer menulis: "Harta benda boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh rusak, jabatan harus selamat. Dia bukan hanya penghidupan, di dalamnya juga kehormatan, kebenaran, harga diri, penghidupan sekaligus. Orang berkelahi, berdoa, bertirakat, memfitnah, membohong, membanting tulang, mencelakakan sesama, demi sang jabatan. Orang bersedia kehilangan apa saja untuk dia, karena, juga dengan dialah segalanya bisa ditembus kembali" (hlm.195).

Pramoedya memang cerdas. Melalui karya yang ditulis 1980 itu,  dia mampu menerawang masa depan Indonesia. Meskipun karyanya mengungkap kekejian kolonialisme saat itu, tapi kekejian itu hidup sampai saat ini, di mana orang-orang berkelahi, berdoa, memfitnah, membohong demi sesuatu yang serupa berlian yaitu jabatan.

Jabatan memang menjadi buruan setiap orang. Para politisi memburu jabatan DPR atau ketua partai. Para dosen memburu jabatan  dekan atau rektor. Para agamawan memburu jabatan  ketua majelis atau ketua urusan pernikahan umat. Para mahasiswa memburu jabatan ketua BEM atau ketua himpunan. Bahkan saat ini yang paling menghebohkan adalah memburu jabatan menteri setelah melewati kompetisi habis-habisan merebut jabatan presiden.

Hidup penuh dengan rebutan jabatan. Dalam perebutan itu orang berkelahi diam-diam bahkan terbuka, "membunuh" satu sama lain. Perebutan juga membuat orang enggan menghindari kompromi dan siasat, sekalipun rakyat menjadi taruhannya.

Jabatan memang tak semurah kaos rombengan yang dilelang setiap hari. Orang-orang yang ingin menduduki kursi jabatan harus mempersiapkan modal mahal. Dari kemahalan itu, efeknya mencengangkan: ada dendam yang harus dibayar tuntas. Selain dendam pada musuhnya, juga dendam ingin mengembalikan sejumlah modal yang hilang saat membeli kursi jabatan. Dari sini, tak tanggung-tangung orang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Karena kursi jabatan adalah tahta tertinggi kekuasaan yang memberikan kesempatan dan kebebasan.

Kursi jabatan manjadi tempat keberuntungan menumpuk modal. Modal untuk menikah (kalau pejabat masih lajang), modal untuk membangung rumah, modal untuk membeli mobil. Intinya jabatan adalah singgahsana penghidupan. Orang akan bangga karena melalui jabatan makan-minum keluarga tercukupi, bahkan lebih. Orang juga akan dihormati karena jabatan membawa nama baik. Tapi akan runtuh semua itu jika orang menjadi buruan KPK. Tapi tetap saja nafsu menduduki kursi jabatan mendarah-daging.

Jabatan menjadikan orang menjadi gila: gila jabatan. Kalau Anda membaca novel Bumi Manusia, pasti ingat bagaimana Pramoedya menggambarkan orang yang gila jabatan. Tokoh bernama Satrotomo rela menjual anaknya, Sanikem ke majikan perusahaan Gula, Herman Mellema hanya karena menginginkan jabatan sebagai juru bayar perusahaan tersebut. Dari sini kita lihat, jabatan lebih berharga dari siapapun. Orang melakukan apapun dan bagaimanapun demi jabatan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline