Lihat ke Halaman Asli

Rafif Ahmad Fadilah

Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Surat yang Berlalu

Diperbarui: 1 Februari 2024   19:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kotak kayu sederhana itu terselip di pojok rak buku. Tak tersentuh debu, tapi usia tak bisa dibohongi. Warnanya memudar, ukiran halus di permukaannya memudar. Aku tahu isinya tanpa perlu menyentuhnya - kumpulan surat dari seseorang yang kini hidup di masa lalu.

Aku perlahan membukanya, aroma kertas tua menyeruak. Tulisan tangan rapi memenuhi halaman demi halaman, tinta cokelat yang mulai memudar bercerita tentang cinta, harapan, dan mimpi. Setiap kalimatnya dipenuhi kehangatan, setiap sapaan terasa lembut membelai hati.

Surat-surat itu ditulis oleh Rania, teman sekelaoku dulu. Kami tak lagi berhubungan sejak bertahun-tahun lalu, takdir membawa kami ke jalan yang berbeda. Kehilangan kontak, terputus komunikasi, hingga kami menjadi dua orang asing yang pernah berbagi momen-momen berharga.

Aku membaca kembali isi salah satu suratnya, "Ingatkah kau saat kita menatap senja di pantai? Langit kala itu berwarna jingga, ombak berbisik seolah bernyanyi tentang harapan. Aku bermimpi kita berdua bisa meraih mimpi-mimpi kita, bersama-sama."

Air mataku tak terasa mengalir. Senja di pantai itu masih jelas tergambar dalam benakku, begitu pun harapan dan mimpi yang kami ukir di pasir. Kehidupan, bagaimanapun, punya caranya sendiri menuliskan nasib. Mimpi kami berlayar ke arah yang berbeda, meninggalkan jejak bercahaya tapi tak sampai bersatu.

Aku mengambil pena, jariku gemetar ingin membalas surat-surat itu meski terlambat bertahun-tahun. Kata-kata terurai mengalir, menuangkan penyesalan karena kehilangan kontak, sekaligus ucapan terima kasih atas persahabatan yang pernah mengisi hari-hariku.

"Rania, maafkan aku karena terputus kontak. Kehidupan membawa kita ke jalan yang berbeda, tapi kenangan bersamamu tak pernah lekang di hati. Harapan dan mimpi kita mungkin tak berjalan beriringan, tapi kehangatan persahabatanmu akan selalu kusimpan."

Aku menulis kalimat terakhir, "Meski surat ini tak akan pernah sampai padamu, setidaknya aku telah melepas uneg-unegku. Terima kasih Rania, untuk segala hal yang pernah kita bagi."

Aku menyelipkan surat balasan itu ke dalam kotak kayu, menutupnya dengan perasaan lega. Surat-surat itu mungkin tak akan pernah dibaca Rania, tapi menuliskannya membuat beban di hatiku terangkat.

Kenangan dan persahabatan, meskipun berlalu, tak akan pernah hilang. Ia tersimpan dalam sudut hati, menjadi pengingat akan masa lalu yang indah dan pelajaran berharga tentang arti sebuah ikatan. Surat-surat itu menjadi saksi bisu, meski berlalu, namun senyum dan air mata yang mengiringinya akan terus membekas.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline