Lihat ke Halaman Asli

Demi Rakyat, katanya : ironi di Balik Kebijakan Publik yang Tak Netral

Diperbarui: 11 Oktober 2025   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto langit yang menggambarkan ketimpangan sosial : sember : tempo

Setiap kali muncul kebijakan baru, para pejabat hampir selalu mengatakan hal yang sama: "Kebijakan ini dibuat demi kepentingan masyarakat luas." Kalimat itu terdengar meyakinkan di layar televisi atau media sosial. Tapi, di balik narasi yang manis itu, kenyataannya sering jauh berbeda. Banyak keputusan ekonomi justru lebih berpihak pada mereka yang punya modal besar, sementara rakyat biasa harus menanggung dampaknya. Kita  melihatnya dari insentif sering pajak untuk perusahaan raksasa, kenaikan harga BBM yang menekan masyarakat kecil, hingga program digitalisasi ekonomi yang akhirnya lebih menguntungkan korporasi ketimbang pelaku usaha lokal. Rasanya seperti ada jarak yang lebar antara kata "untuk rakyat" dengan kenyataan di lapangan.

Lalu, mengapa hal seperti ini bisa terus terjadi? Dalam kacamata sosiologi ekonomi, terutama konsep embeddedness dari Karl Polanyi, ekonomi dan kebijakan publik sebenarnya tidak pernah benar-benar "netral." Setiap keputusan ekonomi selalu tertanam dalam jaringan sosial, politik, dan kekuasaan yang membentuknya. Artinya, di balik setiap kebijakan yang tampak rasional, ada kepentingan dan relasi kuasa yang bekerja diam-diam. Ketika mereka yang punya modal dan akses lebih besar bisa memengaruhi arah kebijakan, rakyat kecil perlahan kehilangan suara. Inilah yang membuat kebijakan publik yang katanya "untuk rakyat" justru terasa semakin jauh dari kehidupan rakyat itu sendiri.

Karl Polanyi dalam bukunya The Great Transformation (1944) menjelaskan bahwa ekonomi tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu tertanam dalam nilai, norma, dan relasi sosial yang membentuk kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi tidak lahir dari ruang hampa, ia selalu dipengaruhi oleh kepentingan, kekuasaan, dan budaya yang hidup di sekitarnya. Dalam konteks sosiologi ekonomi, pandangan ini mengingatkan kita bahwa setiap keputusan ekonomi public tidak hanya mencerminkan perhitungan rasional, tetapi juga mencerminkan siapa yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Struktur sosial dan politik menjadi arena tempat kepentingan saling berkelindan, sehingga arah kebijakan sering kali lebih berpihak pada mereka yang berkuasa dibanding pada masyarakat yang seharusnya dilayani.

Kebijakan kenaikan harga BBM dan pengurangan subsidi energi sering diklaim sebagai langkah efisiensi fiskal demi kepentingan nasional, namun kenyataannya justru paling berat dirasakan oleh masyarakat kecil seperti buruh, nelayan, dan pelaku usaha mikro. Di balik narasi "subsidi tidak tepat sasaran", tersimpan logika ekonomi yang lebih berpihak pada kestabilan anggaran dan kepentingan politik ketimbang pada keadilan sosial.

Fenomena ini menggambarkan bahwa kebijakan publik tidak pernah benar-benar netral, melainkan tertanam (embedded) dalam struktur sosial dan kekuasaan yang timpang. Kelompok berkuasa dengan akses sumber daya dan modal lebih mudah memengaruhi arah kebijakan, sementara suara rakyat kecil sering terpinggirkan. Dalam pandangan Karl Polanyi, inilah bukti bahwa ekonomi selalu melekat pada relasi sosial dan politik yang ada di sekitarnya sehingga keputusan yang tampak rasional di permukaan sebenarnya mencerminkan ketidakseimbangan kepentingan di baliknya.

Adanya berbagai fenomena terselubung yang dilakukan oleh oknum pembuat kebijakan perlahan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah. Rakyat mulai merasa bahwa keputusan-keputusan penting lebih banyak diatur demi kepentingan segelintir pihak, bukan untuk kesejahteraan bersama. Kondisi ini memperlebar jarak antara kelompok berkuasa dan masyarakat akar rumput, sehingga ketimpangan sosial dan ekonomi semakin terasa. Ketika keadilan distribusi tidak lagi berjalan, potensi konflik sosial-ekonomi pun meningkat, dan kestabilan masyarakat menjadi rapuh.

Menurut saya, kebijkan ekonomi seharusnya bukan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga pada keadilan sosial dan pemberdayaan Masyarakat kecil. Kita juga perlu mengembalikan moralitas dan solidaritas ekonomi  agar kebijakan public benar benar berpihak pada rakyat, bukan pada segelintir elite. Pemerintah juga seharusnya lebih membuak ruang partisipasi Masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan, karena sebenarnya kedaulatan rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam membuat kebijakan yang ada. Dan suara rakyat tidak boleh hanya terdengar saat pemilu, tapi juga saat menentukan kebijakan ekonomi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline