Lihat ke Halaman Asli

Raesita Dien

@raesitadien

Resiliensi: Seni Bangkit dan Tumbuh dari Penderitaan

Diperbarui: 28 Agustus 2025   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 (Sumber: Freepik.com)

Penderitaan dan trauma adalah bagian tak terelakkan dari hidup. Namun, ada fenomena menarik: sebagian orang justru mampu bangkit dan tumbuh lebih kuat setelah melewati masa-masa tergelap. Dalam psikologi, hal ini dikenal sebagai resiliensi, yaitu kemampuan untuk pulih dari kesulitan---serta post-traumatic growth (pertumbuhan positif setelah trauma). 

Resiliensi bukan sekadar "kembali seperti semula" setelah badai hidup, melainkan proses adaptasi yang memungkinkan seseorang tetap berfungsi bahkan dalam tekanan besar. Sementara itu, post-traumatic growth terjadi ketika individu bukan hanya bertahan, tetapi juga berkembang---menemukan makna baru, hubungan lebih mendalam, hingga kesadaran spiritual yang lebih kuat.

Menurut penelitian Tedeschi dan Calhoun, hingga 89% penyintas trauma melaporkan setidaknya satu aspek pertumbuhan positif setelah melewati masa sulit. Artinya, penderitaan yang tampak menghancurkan bisa menjadi pintu menuju kebijaksanaan baru.

Para peneliti menekankan bahwa resiliensi bukanlah sifat bawaan, melainkan proses yang dipelajari. Beberapa mekanisme penting yang kerap muncul antara lain:

  • Refleksi yang Konstruktif. Memikirkan ulang peristiwa traumatis dengan cara yang sehat (deliberate rumination) membantu individu menemukan arti dari penderitaan.

  • Reinterpretasi Makna. Orang yang resilient mampu mengubah narasi trauma menjadi pelajaran hidup, bukan hanya luka.

Sayangnya, riset menunjukkan resiliensi masyarakat Indonesia relatif rendah. Survei Kesehatan Mental Nasional Indonesia (2023) bahkan mencatat, 1 dari 3 remaja mengalami masalah kesehatan mental dalam setahun terakhir, dan 1 dari 20 remaja mengalami gangguan mental serius. Data ini menegaskan urgensi membangun resiliensi sejak usia muda, bukan hanya di level individu, tetapi juga sistem sosial. Faktor seperti stigma terhadap kesehatan mental, terbatasnya akses layanan psikologis, hingga pola asuh yang kurang mendukung diduga memperburuk kondisi ini.

Faktor yang Mempengaruhi: Perlindungan vs Risiko

Tidak semua orang merespons trauma dengan cara yang sama. Ada faktor protektif yang memperkuat resiliensi, seperti optimisme, regulasi emosi, spiritualitas, dan dukungan sosial. Sebaliknya, faktor risiko seperti trauma masa kecil, isolasi sosial, atau kesehatan mental yang rapuh bisa membuat seseorang lebih sulit pulih.

Resiliensi yang lahir dari penderitaan bukanlah mitos. Meski tak semua orang otomatis "tumbuh" dari trauma, potensi itu ada pada setiap individu. Yang dibutuhkan adalah pemahaman, dukungan sosial, dan akses terhadap layanan psikologis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline