Lihat ke Halaman Asli

Pramono Dwi Susetyo

Pensiunan Rimbawan

Kelestarian Danau Toba

Diperbarui: 8 April 2021   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

KELESTARIAN DANAU TOBA

Pada pertengahan tahun 2016, bersama rombongan teman sekerja, saya berkunjung dan berwisata ke danau Toba Sumatera Utara dan sempat menyebrang dari Prapat ke Tomok di P. Samosir. Pemandangan indah danau terbesar di Indonesia, sayangnya terganggu  oleh rusaknya tutupan hutan yang terdapat didaerah tangkapan air (catchment area) danau. Yang lebih miris lagi, didaerah bukit/gunung yang melingkari danau banyak terjadi aktivitas pembakaran semak belukar/kayu oleh masyarakat dan nampak jelas adanya asap tebal yang membumbung tinggi dan terlihat dengan mata telanjang dari kapal yang saya tumpangi dari dan ke P. Samosir. Wajar apabila penurunan drastis muka air danau Toba ditengarai turut dipicu oleh kerusakan lingkungan ini (Kompas, 8/4/2021). Turunnya muka air danau sampai dengan 2,5 m, merupakan indikasi yang kuat bahwa telah terjadi penurunan fungsi tutupan hutan sebagai penjaga keseimbangan hidroorologis didaerah  tangkapan air danau. Kemampuan tutupan hutan menyerap air hujan (infiltrasi kedalam tanah) diprediksi tinggal 15-20 persen. Padahal, tutupan hutan yang berfungsi baik dengan jenis vegetasi berdaun lebar mampu menyerapkan air hujan kedalam tanah sampai dengan 80 persen.

Sebagai salah satu destinasi wisata super prioritas, kelas premium yang ditetapkan oleh pemerintah selain  Candi Borobudur di Jateng, P. Komodo di NTT, Kawasan Mandalika di NTB dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang di Minahasa Utara, Sulut, seharusnya tidak hanya infrastruktur seperti jalan, bandara, hotel saja yang dibenahi tetapi juga kelestarian lingkungan mutlak dibenahi dengan menjaga dan merehabilitasi kawasan hutan dan tutupan hutan yang telah rusak didaerah tangkapan airnya.

Kawasan lindung (didalam maupun diluar kawasan hutan) harus dikembalikan fungsinya sebagai penyangga  keseimbangan lingkungan dengan melarang perambahan hutan dan menghentikan kegiatan pembakaran dan penebangan kayu serta melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) secara masif, massal dan cakupannya luas pada lahan kritis daerah sekitar danau Toba. Memang pemerintah melalui KLHK tahun ini telah menyiapkan anggaran untuk membangun persemaian berskala besar disekitar kawasan danau Toba seluas 37,25 ha dengan kapasitas produksi bibit antara 10-16 juta batang, namun penyiapan bibit tanaman hutan ini tidaklah cukup tanpa dibarengi dengan pengawalan proses penanaman dari mulai anakan menjadi pohon dewasa. Rentang waktu untuk keberhasilan kegiatan RHL tidak singkat karena untuk menjadi pohon membutuhkan waktu 15-20 tahun. Oleh karena itu, program RHL disekitar danau Toba sebaiknya multi years, berkesinambungan, terukur, dapat dan mudah dievaluasi sampai dengan fungsi tutupan hutan dapat berlangsung secara normal. Kesadaran masyarakat sekitar danau  akan kelestarian lingkungan perlu digugah kembali dan proses penegakan hukum bagi yang merusak lingkungan perlu diterapkan sebagai efek jera bagi yang lain. Tanpa itu semua, sia-sia saja usaha pemerintah membangun kawasan danau Toba dengan investasi yang mahal dan menjadikan wisata kelas dunia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline