Lihat ke Halaman Asli

David Olin

Belum terlambat aku mencintai-Mu

Pemikiran Teologi dan Politik Spinoza

Diperbarui: 21 November 2019   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Benedict de Spinoza -- A Theologico-Political Treatise Part I

 Baruch Spinoza (kemudian dikenal dengan nama Benedict de Spinoza) lahir pada tanggal 24 November 1632 di Amsterdam. Kaumnya disebut Sephardim (keturunan Yahudi Spanyol dan Portugis). Ia merupakan satu-satunya orang Yahudi sebelum Karl Marx yang menempati jajaran terdepan filsuf barat. 

Ia dikutuk di sinagoga pada tahun 1656. Setelah diusir dari komunitasnya, ia bekerja sebagai pengrajin lensa, suatu profesi yang terbilang baru pada saat itu. Ia menolak tawaran mengajar di Universitas Heidelberg pada tahun 1673 karena ingin bebas berfilsafat secara bebas. Ia meninggal dunia pada tahun 1677.

Pada tahun 1663, Spinoza pindah ke Voorburg (dekat Hague). Ia berkenalan dengan Johan DeWitt, PensionarisAgung Belanda.[1] Pada bulan Juni 1665, ia hampir menyelesaikan bagian ke-3 dan ke-4 dari karyanya yang termashyur, yaitu Etika. 

Akan tetapi, karena gejala politik yang terjadi secara tiba-tiba, Spinoza menunda penyelesaian karya itu. Sebagai gantinya, ia mengerjakan Tractatus Theologico-Politicus.[2]

 Penulis tidak akan membahas seluruh bab dalam TTP. Penulis akan memfokuskan diri pada bagian pertama yang terdiri atas lima bab. Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. 

Pertama, penulis akan memberikan gambaran umum mengenai inti pemikiran Spinoza terhadap Kitab Suci maupun masalah politik. Tulisan-tulisannya dalam TTP mendukung prinsip-prinsip demokrasi modern yang kita kenal saat ini. Kedua, penulis akan memaparkan kelima bab itu satu demi satu. Ketiga, penulis akan memberikan kesimpulan dan tanggapan pribadi tentang pemikiran Spinoza.

Situasi Belanda saat itu

             Republik Belanda (Dutch Republic) - dengan pusat pemerintahan saat itu berada di Hague - merupakan suatu "federasi longgar" dari tujuh provinsi. Salah satu provinsi yang paling kaya dan berpengaruh di kancah dunia adalah Holland. Johan DeWitt mempertahankan toleransi beragama dan kebebasan berkspresi. Lawannya adalah para pemuka agama Kalvinis dan oknum lain yang ingin mendirikan sebuah negara agama (teokrasi) yang didukung oleh Dinasti Orange.[3]

             Pergulatan di antara dua kubu ini diperburuk dengan kekalahan Belanda dalam perang melawan Inggris dan Swedia (1665-1667), kemudian dengan Inggris dan Prancis (1672). Spinoza menjadi sahabat dan pendukung DeWitt. Dalam surat-menyuratnya, Spinoza menyatakan bahwa tujuannya menulis TTP adalah: 

  • memaparkan asumsi-asumsi para teolog
  • membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus ateisme
  • membela kebebasan, khususnya kebebasan berpikir. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline