Lihat ke Halaman Asli

Subhan Riyadi

TERVERIFIKASI

Abdi Negara Citizen Jurnalis

Kebijakan 'Full Day School' Belajarlah dari Negara Finlandia

Diperbarui: 4 April 2017   16:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilus: smpn2pagerwojo.wordpress.com)

Pasca lengsernya Mendikbud Anis Baswedan, tongkat estafet Menteri Pendidikan dan Kebudayaan beralih ke Muhadjir Effendy yang dilantik oleh Presiden Jokowi. Senada pergantian tampuk kepemimpinan tentu akan melahirkan kebijakan baru, pastinya harapan itu akan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tanpa berlama-lama usai menjabat Mendikbud Muhadjir Effendy menelorkan konsep pendidikan Full Day School, dan kata beliau wacana ini telah di setujui oleh Wakil Presiden pak JK, dibalik gagasan yang terkesan “dadakan” tersebut banyak mendapat sorotan. Pasalnya, wacana konsep tersebut mengundang kontroversial.

Konsep pendidikan full day school merupakan konsep belajar dari pagi hingga sore hari. Dengan “direstuinya” full day school, otomatis waktu istirahat siang anak tidak ada. Padahal anak-anak juga manusia punya waktu buat istirahat jangan samakan pisau belati, kata Candil. Pada jam-jam rawan itulah, istirahat mampu meningkatkan daya ingat bekerja maksimal atau refresh setelah seharian sekolah.

Menurut Ifa H Misbach Pengamat Pendidikan sekaligus Kordinator Pusat Studi Pendidikan Dan Kebijakan (PSPK), “usulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait penambahan jam pelajaran anak di sekolah atau konsep full day school tidak serta merta meningkatkan mutu pendidikan anak di sekolah.”

Sekolah bukan menjadi tempat mengerikan bagi anak sekolah, melainkan tempat aman, nyaman untuk mengenyam pendidikan, bukan dipaksakan seperti ini. Tidak hanya berhenti disitu saja anak-anak juga diberi kesempatan untuk bergaul di lingkungan sekitar agar tidak menjadi anak individualistis, egois, arogan, pemberontak dan anti sosial. Jutru, anak-anak sekolah juga perlu beradaptasi dengan lingkungan masyarakat dalam hal pengembangan karakternya.

Membaca polemik Full Day School di indonesia, saya teringat tulisan Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland berjudul "Why Asians Are Less Creative Than Westerners (2001)” Pendidikan di Indonesia cenderung berorientasi nilai, belum berorientasi pemahaman. Akibatnya kita  belajar hanya sekedar mengejar nilai bukan mendapatkan ilmu, berimbas pada proses seleksi masuk kerja.

Tidak heran apabila “perilaku koruptif” ditolerir/diterima sebagai sesuatu yang wajar. Pendidikan adalah memanusiakan manusia bukan membunuh, begitulah makna yang saya pahami, ketika pendidikan tidak memanusiakan manusia, secara tidak langsung telah mencetak robot berwujud manusia.

Sebelum benar-benar melegalkan wacana FDS pemerintah harus memikirkan psikis anak, boleh jadi karena dipaksakan sekolah sampai sore mereka bisa saja mereka berbuat diluar pengawasan orang tua, tidak mungkin guru mengawasi tingkah laku siswanya, bayangkan jika dalam satu kelas jumlah siswa 50 orang tentu wali kelas akan keteteran.

Mendibud beralasan gagasan full day school  agar anak tidak sendirian ketika orang tua mereka masih bekerja. Pertanyaannya apakah semua orang tua bekerja dua-duanya? Apakah semua sekolah mampu menyediakan sarana dan prasarana atau asrama, contoh misalnya salah satu sekolah elite swasta, seperti Al-Azhar, Athirah untuk istirahat siswa? Dengan penerapan FDS apakah semua siswa dijamin tidak anarki atau berbuat asusila. Belum pertanyaan lain seperti gaji guru, makan siang siswa, kurikulumnya  mau seperti apa? Dan polemik lain yang muncul akibat wacana FDS ini.

***

anak-sd-di-finlandia-57ad886111977333320d4947.jpg

 (Ilus: http://pgripetung.blogspot.co.id/2015)
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline