Lihat ke Halaman Asli

PETRUS PIT SUPARDI

TERVERIFIKASI

Menulis untuk Perubahan

Merefleksikan Kemanusiaan Kita dan Rasisme terhadap Orang Papua

Diperbarui: 9 Juni 2020   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agats, Selasa, 2 Juni 2020. Dokumentasi Erold Msen.

Siapakah manusia? Manusia apa pun jenis kelamin, ras, budaya, agama dan status sosialnya memiliki martabat luhur. Kita meyakini bahwa manusia merupakan gambar dan rupa sang Pencipta. 

Dari semua makhluk ciptaan, hanya manusia yang memiliki akal budi dan hati nurani. Melaluinya, manusia dapat mengelola hidupnya, baik sebagai makhluk individu maupun sosial.

Karena itu, ketika di dalam relasi sosial, kita merendahkan martabat pribadi sesama manusia, termasuk merusak alam ciptaan, maka kita sebenarnya sedang merusak wajah sang Pencipta yang telah menciptakan kita.  

Di tengah pandemi virus corona, tiba-tiba seluruh sorot mata tertuju ke Amerika Serikat. Seorang polisi kulit putih, Derek Chauvin menindih leher seorang pemuda kulit hitam dengan lututnya. 

Kata-kata terakhir pemuda itu, "Saya tidak bisa bernapas," tidak melunakkan hati polisi itu. Akhirnya, pemuda itu tewas mengenaskan. Dia adalah George Floyd.

Kematiannya memicu demonstrasi besar di Amerika Serikat. Orang Amerika Serikat, baik kulit hitam maupun putih turun ke jalan untuk menentang tindakan polisi yang rasis itu. 

Narasi rasisme di Amerika Serikat terlalu jauh. Kita perlu mengarahkan pandangan ke tanah Papua. Pada bulan Agustus 2019, Papua bergejolak.

Kasus rasisme terhadap mahasiswa di Surabaya menyulut api demonstrasi protes di tanah Papua. Orang Papua turun ke jalan-jalan melakukan long march dan menolak rasisme. Orang Papua tidak terima pada kata-kata rasis yang terlontar, "monyet" kepada mahasiswa Papua yang tinggal di asrama mahasiswa di Surabaya. 

Peristiwa di Surabaya itu hanya satu dari sekian kasus rasisme lainnya yang dialami orang Papua sejak diintegrasikan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Pepera 1969, yang hanya diikuti oleh 1.025 orang dari 809.337 jiwa orang Papua saat itu, (Djopari: 75).

Kasus rasis di Papua terjadi lantaran Papua dan Indonesia, dari segi ras dan kebudayaan berbeda. Indonesia umumnya ras melayu sedangkan Papua ras melanesia.

Keduanya, memiliki keunikan masing-masing seturut kodrat penciptaannya. Tidak ada manusia yang minta dilahirkan sebagai pribadi yang memiliki fisik kulit hitam, rambut keriting yang diidentifikasi sebagai ras melanesia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline