Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merefleksikan Kemanusiaan Kita dan Rasisme terhadap Orang Papua

8 Juni 2020   12:19 Diperbarui: 9 Juni 2020   08:01 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agats, Selasa, 2 Juni 2020. Dokumentasi Erold Msen.

Demikian halnya, tidak ada orang yang menginginkan terlahir sebagai pribadi yang memiliki rambut lurus, dan berkulit sawo matang atau putih, yang mengidentifikasi diri sebagai ras melayu.

Keduanya, baik kulit hitam dan rambut keriting maupun kulit putih dan rambut lurus, baik ras melanesia maupun ras melayu memiliki martabat yang luhur dan mulia di hadapan sang Pencipta.

Fransiskus Asisi berkata, "Sebab, nilai hidup seseorang adalah nilai orang itu di hadapan sang Pencipta, tidak lebih." Dalam refleksinya, ia menemukan bahwa, "Kita semua adalah makhluk ciptaan. Kita semua berdosa. Kita semua ditebus oleh Putera Allah." Kita rapuh, lemah dan berdosa, tetapi sang Pencipta mengasihi kita.

Rasisme terhadap orang Papua, membawa kita pada pertanyaan, "Siapakah manusia orang Papua? Mengapa orang Papua selalu mendapatkan perlakuan rasis dari sesamanya, di dalam Negara yang menempatkan Tuhan, sang Pencipta sebagai yang pertama dan utama dalam dasar Negara, Pancasila, Sila Pertama: "Ketuhanan Yang Maha Esa? Apa yang salah dengan orang Papua yang memiliki ras melanesia, kulit hitam dan rambut keriting?"

Selama ini, orang Papua selalu mendapatkan perlakuan tidak adil hampir dalam segala aspek kehidupan. Kita bisa menyusuri dan menyaksikan di kampung-kampung di tanah Papua. 

Di sana, kita dapat melihat pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi dan tata kelola kampung yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Orang Papua hidup menderita. Kemanusiaan orang Papua dianggap lebih rendah sehingga segala penderitaan orang Papua tidak menggerakkan pengambil kebijakan untuk bertindak melindungi dan menyelamatkan orang Papua.

Anak-anak Papua tidak sekolah dianggap biasa. Anak-anak Papua gizi buruk dianggap biasa. Orang Papua tidak memiliki kios dan toko dianggap biasa. Orang Papua mati karena malaria, TBC, HIV-AIDS dan minuman keras (miras) dianggap biasa. Orang Papua mati ditembak aparat negara dianggap biasa. Bahkan operasi militer di Papua, pada zaman ini, sebagaimana yang terjadi di Nduga dianggap biasa-biasa saja.

Orang Papua mengalami perlakuan rasis lantaran memiliki kulit hitam dan rambut keriting. Kedua ciri fisik tersebut diidentikan dengan pemalas, pemabuk, pencuri, pemberontak, separatis dan lain sejenisnya.

Padahal, kulit hitam dan rambut keriting tidaklah demikian, tetapi kebodohan telah merasuki otak dan hati nurani para pelaku rasis sehingga pikiran rasial menghilangkan segala kebaikan yang termaktub di dalam diri dan pribadi manusia orang Papua.

Kita menyaksikan bahwa perlakuan rasis terhadap orang Papua telah menjalar ke dalam seluruh ruang hidup orang Papua. Rasisme terhadap orang Papua seperti kanker yang menyebar cepat dan membunuh orang Papua secara perlahan tetapi pasti. Rasisme menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup dan masa depan orang Papua. Karena itu, orang Papua bangkit melawan setiap bentuk pikiran dan tindakan rasis yang dialamatkan kepada mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun