Lihat ke Halaman Asli

Konstelasi Politik di Era Digital

Diperbarui: 31 Oktober 2017   12:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: http://infonitas.com/

Politik merupakan dunia yang kotor meski esensial dalam kehidupan bernegara. Hal itu dikarenakan para politisi yang berhasil bertahan dalam permainan politik adalah mereka yang tidak memakai integritas dan idealismenya. Karena biasanya, politisi yang memiliki integritas dan idealisme, akan tergilas, karirnya mati ditusuk dari belakang oleh kawannya, atau dipenjara karena fitnah yang dituduhkan kepadanya.

Konstelasi politik Indonesia saat ini, masih bisa kita simpulkan bahwa semuanya berujung pada uang. Kekuasaan hanya sekedar proksi dalam mendapatkan akses-akses bisnis di Indonesia. Tujuan pertarungan politik yang sesungguhnya tidak pernah menyentuh kepentingan masyarakat dan negara secara luas seperti apa yang dikoar-koarkan selama ini.

Para politisi tentunya membutuhkan amunisi dalam setiap pertarungan politik. Mereka membuat amunisi itu dari isu-isu yang menjamur di masyarakat luas, untuk selanjutnya digunakan dalam kampanye politik mereka. Tujuannya, agar masyarakat tahu bahwa para politisi tersebut sedang memperjuangkan mereka. Keberpihakan politisi terhadap opini masyarakat hanyalah sekedar untuk mendapatkan simpati semata, lalu mendapatkan dukungan suara yang berkelanjutan.

Dengan begitu pentingnya suara masyarakat, ketika politisi dihadapkan pada kebijakan yang tidak populer, namun sebetulnya itu adalah pilihan kebijakan yang terbaik berdasarkan kajian empiris, mereka cenderung untuk tidak melakukannya. Selama tidak menghalangi tujuan sebenarnya, para politisi itu akan selalu ikut akan suara mayoritas masyarakat, sekalipun itu adalah kebodohan.

Aturan main yang ada saat ini sudah menjadikan para politisi tersebut menghalalkan segala cara untuk memenangi pertarungan politik. Tidak memperdulikan bagaimana dampak buruk yang akan terjadi kemudian. Bahkan, mungkin mereka sebetulnya tahu mengenai dampaknya pada masyarakat, namun dengan sengaja membiarkannya.

Tidak perlu menutup mata, isu-isu sosial yang ada hanyalah sekedar komoditi saja bagi para politisi. Dan dari itu semua, sebejat-bejatnya politisi adalah mereka yang menggunakan isu yang berisi pemutarbalikan fakta dan sejarah. Kedua terbejat adalah mereka yang menggunakan isu agama dan ras.

Dengan semakin mudahnya akses internet bagi banyak masyarakat, penyebaran informasi menjadi lebih mudah dan lebih masif. Sehingga, pola yang terjadi, tidak lagi berasal dari sesuatu yang populer di kehidupan nyata, namun sebaliknya. Tanpa disadari, kita pun terbawa masuk ke dalam era digital. Era dimana sebuah isu di dunia maya bisa menjadi hal yang ramai dibicarakan oleh semua orang di kehidupan nyata.

Para politisi merespon fenomena tersebut dengan baik. Mereka menggunakannya untuk mengatur gejolak politik yang terjadi di masyarakat dengan memaksimalkan penggunaan teknologi. Menghebuskan isu-isu yang sensitif bagi masyarakat tidak lagi semahal sebelumnya. Propaganda-propaganda juga semakin saru dengan komentar-komentar yang nyeleneh ataupun satir.

Masyarakat disini seperti halnya domba-domba di padang rumput. Mereka butuh pengembala, dan pengembala butuh anjing untuk memudahkan tugasnya.

Para politisi memegang orang-orang berpengaruh di dunia maya, dan orang-orang itu dikomandoi untuk menggiring opini publik mengenai isu pesanan mereka. Ketika masyarakat mulai termakan isu tersebut, maka yang terjadi bisa berdampak luar biasa. Masyarakat akan mulai kehilangan arah dan berusaha mencari jawaban akan hal tersebut. Para politisi selanjutnya hanya tinggal menikmati hasilnya saja, menanggapi isu tersebut dengan mengambil posisi memihak apa yang dijawab mayoritas masyarakat.

Seperti pistol, baik buruknya era digital juga bergantung pada tangan siapa yang menggunakannya. Era digital membawa dampak buruk ketika yang menggunakannya adalah orang yang minim leterasi, biasa memakai kaca mata kuda dalam melihat suatu isu, dan ngotot bahwa pandangannya adalah yang paling benar. Mereka cenderung ajaib dalam menginterpretasikan pernyataan dan ujungnya malah menyulut berdebatan yang tidak penting.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline