Lihat ke Halaman Asli

Peb

TERVERIFIKASI

Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

"Masokisme Politik" Gerindra-Demokrat dalam Koalisi

Diperbarui: 14 September 2018   19:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Tribunnews.com

Masokisme adalah kelainan seksual dua pihak atau pasangan. Keduanya akan merasa puas atau gairahnya memuncak jika disakiti atau direndahkan.

Hingga saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin masih heran melihat hubungan partai Gerindra dengan Demokrat. Keduanya mengaku sebagai pasangan, tapi di "ranjang politik" saling menyakiti.

Secara formil "de jure" kedua partai besar itu tergabung dalam satu koalisi untuk Pilpres 2019. Ibarat pasangan kekasih, mereka bukan lagi pacaran, tapi sudah sah berkeluarga untuk sama-sama menghadapi dan mewujudkan masa depan gemilang.

Pengesahan sudah dilakukan dengan surat resmi dan didaftarkan ke "penghulu" Pilpres2019, yakni KPU. Publik pun jadi saksi lewat pemberitaan media. Namun secara "de facto" keduanya terlihat suka baku hantam sendiri. Publik disuguhkan tontotan politik tak sedap. Mungkin bagi bagi Demokrat dan Gerindra hal itu biasa, tapi tidak biasa bagi publik awam politik.

Gerindra Menyakiti Demokrat

Sebelum pendaftaran resmi Capres/Cawapres ke KPU, partai Demokrat menyodorkan AHY sebagai cawapres bagi Prabowo karena dari berbagai survey, elektabilitas AHY cukup tinggi. Kalau pun bukan AHY terpilih, harus ada calon alternatif lain, dan calon itu bukan Sandiaga Uno.

Namun kenyataannya, AHY tidak dipilih Gerindra. Sandiaga Uno yang tidak diinginkan Demokrat justru dipilih. Anehnya, saat itu Sandiaga Uno merupakan kader Gerindra. Bayangkan dalam sebuah koalisi, calon presiden dan wakilnya berasal dari satu partai, seperti tak ada calon pemimpin lain yang bisa dipilih koalisi itu. Atau, anggota koalisi tersebut memang tak dianggap Gerindra?

Melihat cara pemilihan Sandiaga Uno, Demokrat lewat Andi Arief mengungkapkan kekecewaannya dengan membongkar ke publik bahwa adanya "politik uang" antara Gerindra dengan PAN dan PKS.

Sandiaga memberikan masing-masing 500 milyar kepada partai PAN dan PKS. Tak hanya sampai disitu, Andi Arief bahkan menyerang sosok personal Prabowo dengan label "Jenderal Kardus". Ini sebuah olok-olok yang merendahkan kewibawaan Prabowo yang merupakan ketua Gerindra sekaligus calon presiden.

Demokrat disakiti dalam dua hal. Pertama, AHY tidak dipilih. Kedua, orang yang dipilih Gerindra adalah orang yang semula tak diinginkan Demokrat sejak awal. Ketiga, Demokrat ditelikung dengan politik uang antara Gerindra dengan PAN da PKS. Dan kalau soal pembagian mahar koalisi, kenapa partai Demokrat tidak kebagian uang itu?

Pada masa akhir pendaftaran, mau tak mau, suka atau tak suka, Demokrat masuk koalisi Prabowo demi keberlangsungan Partai Demokrat dalam percaturan politik Pilpres 2019 dan sesudahnya. 

sumber gambar : tribunnews.com

Demokrat menyakiti Gerindra

Dalam perjalanan koalisi, Demokrat dianggap tidak total. Demokrat setengah hati. Demokrat bermain dua kaki dengan membiarkan kader berpengaruhnya mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin yang merupakan lawan Prabowo-Sandiaga. Para kader itu punya pengaruh besar terhadap massa pemilih kedalam kubu Jokowi-Ma'ruf Amin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline