Lihat ke Halaman Asli

Paryono Yono

Menulis untuk berbagi

Ketika Saya Gagal

Diperbarui: 7 Juli 2019   08:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap orang tentunya pernah merasakan getirnya kegagalan. Pupusnya keinginan yang telah direncanakan sebelumnya dapat berlaku bagi siapa pun. Kekalahan tidak pandang status sosial. Tidak juga melihat tingginya IQ atau banyaknya harta benda. Semuanya dapat merasakan kegagalan dalam meraih impian.

Gagal lolos ke sekolah yang diimpikan. Kalah bersaing masuk di dunia kerja. Jomblo yang tak berkesudahan karena hubungan kandas di tengah jalan. Adalah contoh-contoh kegagalan yang mungkin pernah kita rasakan.

Kecewa, marah, malu bercampur aduk jadi satu. Apalagi jika kegagalan demi kegagalan terus menimpa, akibatnya menambah tekanan batin dan menggerus kepercayaan diri. Akhirnya menjadi minder dan menutup diri. Padahal dengan menutup diri bukan keluar dari masalah, malah hanyut dibawa masalah.

Saya beruntung punya keluarga yang mendukung. Para orang tua yang yang tak lelah memberi nasehat dan do'a. Serta teman-teman yang mengajak berpikiran positif. 

Orang di sekitar berperan besar dari keluarnya diri dari persoalan. Mereka menjadi kepanjangan tangan Allah yang membantu bangkit dari keterpurukan. Mereka berperan besar dalam menjaga pikiran tetap jernih. Mereka pun ikut menenangkan hati agar tetap terjaga dikala dalam gejolak.

Hingga suatu saat muncul optimisme "Pasti ada hikmah di balik setiap kejadian." 

Saya mulai memperhatikan kejadian satu ke kejadian lain, peristiwa satu ke peristiwa lain, bertemu dengan siapa, apa yang dibicarakan, serta naik turunya suasana batin yang sebelumnya terabaikan karena fokus dengan tujuan yang akan dicapai.

Saya baru tersadar akan perilaku diri. Selama ini saya lebih memburu nafsu dan memuja keinginan dari pada mencari ridho Allah. Amal dan ibadah hanya untuk mengejar nafsu, memburu keinginan yang ujung-ujungnya kecewa.

Saya pun hanya bisa bergumam "Astaghfirullah hal Adhim"

Orang-orang sekitar membantu dalam menjaga sikap. Sikap tetap berbaik sangka kepada Tuhan serta optimis dalam menghadapi berbagai persoalan.

"Harusnya saya bersyukur, tidak sampainya keinginan karena Allah telah mengarahkan kepada keridhoan-Nya." "Harusnya saya sami'na waatha'na dengan ketetapan-Nya. Keridhoan Allah lebih penting dari nafsu yang menggelora di dalam dada." gumam batinku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline