Lihat ke Halaman Asli

Oktoviana BS

Pegawai dan Mahasiswa

Mengukur Ketahanan Asuransi Syariah

Diperbarui: 10 Juni 2020   04:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kasus pandemi Virus Corona ini lambat laun menghapus ingatan kita akan penyelesaian kasus gagal bayarnya PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang merupakan puncak pertaruhan kredibilitas institusi asuransi di Indonesia. 

Kejadian tersebut tidak hanya menyeret sejumlah nama petinggi organisasi ke meja hijau, tetapi juga sempat menyeret beberapa nama petinggi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator, karena dianggap kendor dalam melaksanakan pengawasan terhadap industri asuransi yang dahulunya merupakan ranah pengawasan Bapepam-LK. 

Dalam prosesnya, regulator menyangkal adanya unsur kelonggaran dalam proses pengawasan asuransi plat merah tersebut dan mengakui telah melakukan langkah-langkah penyelamatan yang sesuai dengan koridor sebagaimana peraturan yang berlaku.

Terdapat dua indikator penting yang digunakan regulator dalam mengukur ketahanan asuransi. Pertama, menggunakan indikator tingkat kesehatan berupa instrumen finansial yang dapat diukur dengan beberapa rasio, namun rasio utama untuk mengukur kesehatan finansial perusahaan asuransi yaitu Rasio Solvabilitas (Risk Based Capital/RBC) adalah metode pengukuran dengan membandingkan batas tingkat solvabilitas perusahaan asuransi dari Modal Minimum Berbasis Risiko (MMBR). 

Kedua, regulator dapat menilai ketahanan asuransi melalui penilaian penerapan tata kelola yang baik oleh manajemen (good corporate governance). Tingkat Solvabilitas adalah selisih antara jumlah Aset Yang Diperkenankan dikurangi dengan jumlah Liabilitas, sedangkan MMBR adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan Aset dan Liabilitas. Batas minimum perusahaan asuransi konvensional dikatakan sehat yaitu pada saat perbandingan Tingkat Solvabilitas paling rendah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari nilai MMBR.

Pada perusahaan asuransi syariah sesuai POJK No.72/POJK.05/2016 terdapat beberapa rasio untuk mengukur kesehatan keuangan, namun rasio utamanya adalah Tingkat Solvabilitas, yang terbagi menjadi (1) Dana Tabarru' dan Dana Tanahud, (2) Dana Perusahaan. 

Dana Tabarru' dan Dana Tanahud adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para pemegang polis atau peserta, sedangkan Dana Perusahaan adalah kumpulan dana yang dikelola Perusahaan selain Dana Tabarru', Dana Tanahud dan Dana Investasi Peserta. 

Dana Tabarru' dan Dana Tanahud Minimum Berbasis Risiko (DTMBR) adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan Aset dan Liabilitas dari Dana Tabarru' dan Dana Tanahud.

Tingkat Solvabilitas dari Dana Tabarru dan Dana Tanahud paling rendah sebesar 100% (seratus persen) dari DTMBR, sedangkan Tingkat Solvabilitas dari Dana Perusahaan sesuai ketentuan diatur paling rendah sebesar 100% (seratus persen) dari MMBR dengan mempertimbangkan skenario perhitungan profil risiko perusahaan (stress test). Pemenuhan ketentuan ini paling lambat dilakukan perusahaan asuransi syariah paling lambat 31 Desember tahun lalu.

Selain itu, ternyata regulator pun mengatur mengenai penempatan dana pada satu pihak tidak melebihi 20% (dua puluh persen) kecuali penempatan pada Surat Berharga Syariah Negara dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 

Apabila investasi dilakukan pada instrumen syariah yang diterbitkan di luar negeri, perusahaan wajib menjaga agar jumlah seluruh investasi pada instrumen syariah yang diterbitkan di luar negeri dimaksud tidak melebihi 20% (dua puluh persen). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline