Lihat ke Halaman Asli

Pergi Senyap Pulang Senja [Bagian 2]

Diperbarui: 13 November 2019   20:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Melukis Cita dan Sari Pati Hidup

Derap langkah terdengar semakin jelas. Mereka bertiga berbaris rapi. Kiri kanan kaki jatuh serempak. Tangan tinggi-tinggi mengayun ke samping. Pudjas paling depan. Tonnie dan Mustaman mengikuti.

Hentakan kaki Pudjas terasa paling keras menghantam bumi. Sabak dan Grip, ---media tulis jaman itu --- dijepit di ketiak. Barisan itu hilang di pertigaan depan warung ketupat pinggir kali. Mereka pulang. 

Tahun kalender menunjuk angka 1954. Tonnie sudah menamatkan Sekolah Rakyat. Mustaman naik ke kelas tiga SGB, Sekolah Guru Bawah. Sementara Pudjas masih kelas empat Sekolah Rakyat.

Tonnie bercita-cita menjadi guru. Dia begitu kagum pada sosok Pak Gusti, gurunya saat masih di Sekolah Rakyat. Di matanya, Pak Gusti adalah seorang guru yang hebat. 

Dia bisa mengajar segala macam mata pelajaran. Ilmu bumi, berhitung, bahasa, sejarah sampai mengajar olah raga pun beliau sanggup. Kalau ada seorang guru yang tidak sempat mengajar, Pak Gusti selalu siap menggantikan.

Pernah ada dua guru sekaligus berhalangan mengajar. Pak Gusti pun mengajar dua kelas itu. Dari kejauhan terlihat menggelikan. Sekian waktu memberi pelajaran di kelas A kemudian berlari ke kelas B untuk memberikan pelajaran yang berbeda. 

Di saat seperti itu Tonnie sering membayangkan. Kalau saja ada seratus kelas tanpa guru dan pelajarannya berbeda, alangkah serunya pemandangan. Pak Gusti tentu akan kelelahan. Berkeringat, dan ngos-ngosan. Tetapi dia akan hadir membersihkan keringat itu bila perlu seperti yang dilakukan adiknya, Pudjas pada Iwa Simon. Dia sering tertawa kecil kalau mengingat itu. 

Suatu ketika pernah pula kejadian dua guru tidak masuk mengajar. Entah bagaimana, murid-murid dua kelas itu digabungkan. Dan kemudian terdengar menggema lagu-lagu perjuangan. Diselingi dengan hentakan telapak kaki pada ubin. Juga tepuk tangan serempak. Seperti derap langkah barisan pasukan perang. Tonnie saat itu mengira Pak Gusti kelelahan. Akhirnya kedua kelas itu diajak bergembira dengan bernyanyi. 

Cara mengajarnya pun kerap membuat Tonnie terkagum-kagum. Kalau menjelaskan sesuatu yang sulit, Pak Gusti sering kali mengawalinya dengan bercerita. Ceritanya disukai anak-anak. Suaranya berubah-ubah. Terkadang terdengar seperti suara seorang nenek-nenek, terkadang membesar seperti seorang yang berbadan besar dan tambun. Suara kodok pun tertiru dengan baik. Bak seorang dalang saja. Dari bercerita itulah, Tonnie dan kawan sekelasnya bisa lekas mengerti apa yang ingin disampaikan Pak Gusti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline