Lihat ke Halaman Asli

Fauji Yamin

TERVERIFIKASI

Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Buku-buku Usang

Diperbarui: 21 Mei 2021   19:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri.

Bang, kalau balik lagi kesini bawakan saya buku ya," pinta salah satu pemuda desa berumur  26 tahun saat saya mengutarakan akan kembali ke kota.

Permintaannya bukan tak beralasan. Sudah sejak lama Ia meminanti karya-karya sastra. Ia begitu memuja penulis-penulis tersohor, semisal WS. Rendra, Taufik Ismail, Khalil Gibran, Sapardi Tjokodamono dll.

Pemuda yang putus sekolah di bangku kelas dua SMA ini selalu mengutip karya-karya mereka di status medsosnya. Pun di saat ngobrol yang tak lupa sesekali Ia bumbuhi kata-kata mutiara.

Namun, keterbatasan pada akses buku membuatnya kesulitan membaca buku. Ia tak berharap banyak  pada anak-anak desa yang berstatus mahasiswa. Faktor malu hati membuatnya tak meminta buku atau meminjam apalagi statusnya sebagai anak putus sekolah.

Pun jika tak diminta, mahasiswa yang kembali ke kampung tak berminat pada pengembangan literasi desa. Mereka acuh dengan lingkungannya sendiri. 

Ibarat kata, saat kembali ke kampung, status mahasiswa dan keilmuan yang dipikul tak di amalkan. Dari persoalan sosial hingga aspek-aspek yang nyata. Asik pada zona nyaman, bahwa kembali ke desa adalah rehat dari segala jenis keilmuan.

Buku bagi seglintir mahasiswa hanyalah bagian dari  "Pencitraan". Tak ada yang benar-benar serius mencintai buku. Buku hanyalah alat pamer di medsos, sebuah identitas pencitraan ala mahasiswa. Foto membaca buku lalu memposting dengan sedikit kata-kata apik untuk memantik respon dari nitizen.

Sehingga sering lahir istilah "membaca buku terbolak balik" yang pada konklusinya berkaitan dengan pola dan metode berpikir.

Pernah berkoar-koar membangun rumah baca guna mengenalkan buku pada generasi muda yang duduk di bangku Sekolah. Tetapi, terbentur oleh ideologi mereka sendiri. Banyak yang tak pro atas pendirian rumah baca, banyak pula yang acuh dan hanya segelintir dari mereka yang akhirnya juga ikut membiarkan ide literasi itu menjadi mimpi tanpa tindakan nyata.

Mimpi agar anak-anak membudayakan membaca sebagai fonadasi keilmuan tinggal mimpi. Padahal, kehadiran rumah baca ditenggarai dapat meminimalisir kecanduan gadget anak-anak sekolah di desa yang memprihatinkan.

Padahal, anak-anak yang sedari dini dikenalkan dengan dunia literasi akan mampu mempengaruhi pola pikir mereka kedepan. Minimal, mencintai buku dan gemar membaca. Mandiri dalam berpikir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline