Lihat ke Halaman Asli

Ilmiawan

Mahasiswa

Sang Gagak

Diperbarui: 20 Desember 2022   06:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak ada yang lebih menjengkelkan dari pekerjaan saya ini. Beberapa hari yang lalu, saya baru saja dimarahi Tuhan. Saya gagal mencabut nyawa orang. Padahal di keterangannya tertulis bahwa A akan mati dalam tidurnya. Tapi, A tak kunjung tidur. Lantas bagaimana saya mencabut nyawanya? Maka saya naik ke atas melapor ke bos saya, manatau ada sesuatu yang Dia lewatkan.

"Bodoh!" Itu kata-Nya, Tuhan marah. "Kau pikir Aku telah berbuat kesalahan?!"

Saya hanya diam saat bos ngomel-ngomel. Dia merasa terhina dengan perkataan saya. Panjang sekali uraian-Nya. Nada-Nya tinggi, saya sendiri hampir mampus mendengarnya. Setelah itu saya diusir. Badan saya langsung gemetaran. Saya tak boleh pulang ke rumah sampai tugas saya ini selesai. Tapi, laki-laki itu tak kunjung tidur. Padahal saya sudah kangen sekali dengan rumah.

Maka di sini saya sekarang, di emperan jalan, di bawah matahari terik, menyaksikan manusia menyebalkan itu tengah tertawa-tawa dengan temannya di warung rokok. Padahal nyawanya tinggal sedikit, saya hanya butuh ia untuk tertidur barang semenit saja, maka selesai sudah kerja saya.

Ini sudah hari kelima. Apa dia tidak mengantuk sama sekali? Saya heran betul dengan tingkahnya. Memang benar dia pengangguran, tidak ada hal yang melelahkan dikerjakannya, selain tertawa dan luntang-lantung mencari rokok ke pejalan kaki di kaki lima. Tapi lima hari? Bagaimana ini tetap bisa terjadi?

Saya berulang kali membaca keterangan kematiannya. A meninggal dalam tidurnya pada tanggal bla bla bla. Ini sudah kelewat lima hari. Pasti ada sesuatu yang salah. Tuhan juga mengelak bahwa Dia telah melakukan kesalahan. Tak ada kesalahan di dalam keterangan yang sudah dibikin-Nya itu. Lantas kepada siapa lagi saya mengadu tentang perkara ini? Maka sungguh ini adalah tugas terberat dan paling mempertaruhkan eksistensi saya sebagai sang gagak.

Saya terus mengawasi dia. Tapi, selama lima hari ini, saya menjadi bosan sekali. Dia itu tak pernah tidur. Lantas bagaimana saya akan mencabut nyawanya?

Tuhan, tolonglah saya. Setelah saya mengucapkan itu, kau pasti tahu apa yang terjadi. Saya mendapat telepon dari langit. Tuhan lagi-lagi mengomeli saya. Dan kali ini suasananya jadi tambah pusing, mungkin karena matahari yang dibuat-Nya terbakar cukup panas di tanah ini.

"Memalukan! Aku tak mau tahu, lakukanlah tugasmu!" Itu kata terakhir bos sebelum Ia menutup teleponnya. Saya menjadi semakin gila, terlebih melihat senyum menyebalkan pria itu. Sungguh manusia tidak pernah tahu kapan mereka akan mati, dia bisa berbahagia hari ini dan besok mati. Atau mereka boleh bersedih-sedih hari ini dan hidup untuk 1000 tahun lamanya.

Saya sudah kehilangan akal. Saya hampir menyerah. Sampai suatu saat saya melihat seorang anak muda penjual tisu. Sedang berteduh di bawah pohon. Topi yang dipakai sebelumnya kini dijadikan kipas untuk mendinginkan mukanya yang basah oleh keringat. Dia berdoa. Bukan untuk sebuah mobil super atau rumah yang mewah, melainkan hanya untuk sepiring makan siang. Itu saja doanya. Tak ada lain. Saya jadi kaget. Dia pikir bos saya ini pelit dan semiskin itu kah?

Maka saya hampiri dia. Dengan mukjizat bos, saya berubah menjadi pria tua dengan segepok uang. Maka uang itu saya berikan begitu saja untuknya, tanpa berkata apa-apa. Saya hanya ingin dia tahu, bahwa bos saya kaya sekali. Hanya saja Dia pemalas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline