Lihat ke Halaman Asli

Nuty Laraswaty

Digital Marketer , penulis konten

Guru Ngaji, Saat Realita Kehidupan Muncul di Layar Lebar Impian

Diperbarui: 3 April 2018   07:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto dari web gurungajimovie.com

Samar-sama lagu era tahun 2004 dari ADA Band memenuhi pikiran saya saat trailer film Guru Ngaji muncul di hadapan saya. 

Saya merasa sangatlah menarik melihat perjuangan seorang Guru Ngaji yang juga menjalani profesi sebagai badut. Suatu pekerjaan yang saling bertolak belakang, namun sebenarnya intinya sama yaitu mendidik, meskipun itu mungkin banyak tak disadari orang.

Sudahlah menjadi rahasia umum, profesi pengajar bukanlah merupakan tempat ideal untuk memperoleh penghasilan rata-rata , namun sering dijadikan sarana beribadah bagi yang menekuninya. Tak jarang yang memilih menjalani profesi sebagai pengajar, harus pula memiliki "pekerjaan kedua", yang dapat diandalkan untuk menjadi sumber pendapatan hidup mereka.

Ada yang mengambil "shift" pekerjaan tambahan lain, dan ada pula yang berdagang.

Suatu potret masyarakat Indonesia yang sering kita jumpai.

Bagaimana jika potret kehidupan ini muncul di layar lebar Indonesia? Saat saya menonton, tak kuasa menahan haru. Beberapa penonton perempuan terlihat sesekali menghapus air mata yang jatuh mengalir di wajah mereka.

Bahasa puitis dan alur cerita yang mengalir , membuat penonton tak rela pergi meninggalkan kursi mereka.

Sungguh film yang sangat menarik hati dengan segala persoalan yang sering dijumpai sehari-hari.

Saat film selesai, hanya satu komentar muncul, yaitu ini adalah film bagus yang sayangnya sebentar lagi akan turun dari layar lebar bioskop, oleh karena itu segeralah bergegas menonton film ini 

Sinopsis

"Guru Ngaji" bercerita tentang dilema Mukri (Donny Damara) yang selama ini ikhlas mengajar ngaji tanpa mengharap balasan materi. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Mukri terpaksa mengambil pekerjaan sampingan sebagai badut.

Ini dilakukan tanpa sepengetahuan keluarganya dan segenap warga Desa Tempuran, sebab Mukri merasa guru ngaji adalah pekerjaan yang sakral dan terhormat. Bertolak belakang dengan profesinya sebagai badut yang justru memancing tertawaan orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline