Lihat ke Halaman Asli

dodo si pahing

semoga rindumu masih untukku.

Simpati Selalu Sama dari Tukang Parkir hingga Jenderal

Diperbarui: 14 Oktober 2019   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

indonesiaalibaba.com

Setelah berobat, ketika akan keluar  dari rumah sakit saya melintasi satu bentuk pos kecil di ujung kiri  bangunan gedung kalau dalam istilah bahasa adalah, rumah monyet yang berarti rumah jaga. Mengapa dikatakan rumah monyet karena bentuknya kecil hanya pas dipergunakan untuk satu hewan saja, ya si monyet itu sebagai penjaga rumah. 

Tidak bisa untuk berdiri, hanya untuk duduk. Kalaupun terpaksa ngantuk dan berniat untuk tidur harus  rela menekuk tubuh. Saking kecilnya rumah monyet atau rumah jaga ini.

Saat ngantri untuk mencocokkan nomor di kartu dengan gambar foto  sepeda motor yang tertera di layar monitor, agar bisa keluar dari rumah sakit  dengan sepeda motor. Saya sedikit menengok ke dalam ruangan untuk melihat fasilitias di dalam kotak yang full press body. 

Di dalamnya ada  kursi, meja, layar monitor, kipas angin yang tergantung di atas monitor komputer. Ruangan yang sebagian besar terdiri dari kaca pastilah tidak bisa menyerap udara, bahkan akan membiaskannya. Dan kalau ingin menghirup udara segar  pastilah si penjaga  harus keluar dari rumah monyet itu.

Sepertinya Hal biasa ketika melihat seseorang yang memang pekerjaannya mengecek karcis kemudian menerima bayaran dari jasa memberikan tempat parkir. Namun, ketika seseorang yang bekerja mendapatkan upah dengan cara ditempatkan pada ruangan yang sangat kecil selama hampir sepertiga  hari harus menahan panas atau kala malam harus menanggung dingin. 

Dan pastilah jika kita punya sedikit perasaan kita bisa  menampatkan pada  orang itu maka kita mempunyai rasa empati. Rasa yang ada karena kita menjadi bagian  dari si penyobek karcis. Kemudian rasa itu menjadi keinginan untuk berbuat suatu tindakan menghargai kepada orang lain. 

Misalnya sekedar memberi senyum, memberikan gesture menyenangkan,  memberikan uang pas saat pembayaran agar memudahkan pekerjaan si penyobek karcis dan perbuatan lain karena seolah dialah diri kita.  

Saya mencoba membandingkan dari hal sederhana saat  melihat kejadian yang sering   ditemui bahkan dialami sendiri dengan  menempatkan pada kejadian yang menimpa segala  coba pada korban baik yang menimpa Pak Wiranto atau pun korban demo mahasiswa Akbar Alamsyah, atau pun korban penikaman Deri Datu Padang di Wamena baru-baru ini. Betapa getir dan sakit saat mendapat perlakuan kekerasan seperti mereka. 

Siapa pun tidak menginginkan kejadian menyakitkan itu menimpa pada dirinya. Kata pepatah, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Harus berani menerima nasib, hal seperti yang menimpa bisa saja menimpa pada diri kita. Jika itu suratan meski harus dijaga pasukan berlapis di tempatkan di benteng setebal dua depa jika musibah tetap  menimpa.

Jika kita bisa bersimpati pada petugas penyobek karcis di rumah jaga dengan fasilitas mimnim  yang hanya ditempatkan di ruang dengan gaji kecil,  padahal dari rumah monyet yang ditempatkan diujung kiri rumah sakit setiap hari menyetor jutaan rupiah. Hal sama bisa kita berikan simpati dari dalam diri kita untuk orang lain sebagai ciptaan Tuhan untuk mengisi sudut-sudut berbangsa. 

Apa pun kedudukan mereka sebagai kawan atau berseberangan dengan  tujuan politik yang hanya sesaat. Nilai kemanusiaan harus ditempatkan di atas ego-ego kepentingan.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline