Lihat ke Halaman Asli

Nursalam AR

TERVERIFIKASI

Penerjemah

Kelak Tuhan Bertanya kepada Kita

Diperbarui: 30 Mei 2020   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dhuafa/Sumber: baznasjabar.org

Kini Lebaran. 

Ramadhan telah berakhir sepekan silam. Namun banyak pelajaran yang ditinggalkan. Antara lain, pelajaran keikhlasan untuk rela berbagi kepada sesama. Terlebih di saat pandemi ketika jumlah kaum miskin dan dhuafa cenderung bertambah.

Di kantor, ada grup donasi khusus untuk kalangan dhuafa terdampak COVID-19 yang saya ikuti. Demikian juga kesibukan penggalangan dana santunan yatim dan dhuafa di grup alumni SMA dan perguruan tinggi. Alhamdulillah, badai pandemi tidak sukses membuat empati menepi. 

Ada banyak sekali dhuafa yang menanti uluran tangan kita, kendati mereka tidak meminta.

Salah satunya adalah Mamah Uti, demikian janda tua miskin yang berdomisili di Pancoran, Jaksel tersebut, biasa dipanggil. Ia hidup dengan modal belas kasihan tetangga di lingkungan sekitar rumahnya. 

Dengan keterbatasan usia, harta, pendidikan, kemampuan, ia berjuang menghidupi dirinya dan puterinya (Uti) yang mengidap keterbelakangan mental. Konon, sewaktu kecil, Uti yang lahir sehat dan normal mengalami kecelakaan terjatuh sewaktu digendong pengasuhnya semasa balita yang kemudian berakibat pada kecacatannya hingga kini.

Mamah Uti tak mau mengemis atau sekadar berpangku tangan menanti derma dari para dermawan yang tak tentu hasil atau kedatangannya. Ia berjualan apa saja, berkeliling pada para tetangga di lingkungan sekitarnya demi sesuap nasi kendati hasilnya tak seberapa atau bahkan tak dapat apa-apa.

Baca Juga: Terbit Pandemi, Haruskah Empati Menepi?

Bagi kita, baju, taplak, kue atau barang-barang sederhana yang dijual Mamah Uti mungkin terlihat biasa. Tetapi, bagi Mamah Uti, barang-barang itulah penyambung hidupnya dan anak terkasihnya.

Jika kita tak segan merogoh kocek ratusan ribu atau bahkan ratusan juta untuk koleksi tas kita yang sekian puluh banyaknya; jika kita rela membayar ratusan ribu untuk sekadar dua cangkir kopi pagi, dan jika kita santai saja melahap makanan cepat saji yang nilainya seminggu uang belanja Mamah Uti, mungkin kelak Tuhan akan bertanya kepada kita, "Kenapa engkau berat membelanjakan hartamu untuk orang tak berpunya?"

Mamah Uti, sebagaimana juga jutaan dhuafa di negeri kita, tak mengemis dan tak minta dikasihani. Tapi kitalah yang sebenarnya layak dikasihani jika tak sanggup berbagi walau segelintir saja dari rejeki Tuhan yang diamanatkan kepada kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline