Lihat ke Halaman Asli

Nur Laili Agustin

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

Mengapa Desa Butuh Dana Di Luar Desa? Inovasi Kreatif dan Peran Pemuda Untuk Pembangunan Berkelanjutan

Diperbarui: 9 Oktober 2025   07:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

  • Mengapa desa perlu menggali sumber dana pembangunan di luar Dana Desa?

Desa perlu menggali sumber dana pembangunan di luar Dana Desa karena ketergantungan semata pada Dana Desa berpotensi membatasi kapasitas pembangunan yang bersifat berkelanjutan dan komprehensif. Dana Desa, yang merupakan alokasi dana dari pemerintah pusat, memiliki batasan kuantitatif dan sering kali diarahkan untuk prioritas tertentu sesuai kebijakan nasional. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang lebih luas seperti infrastruktur, pemberdayaan ekonomi lokal, dan inovasi sosial, desa perlu mencari sumber dana alternatif yang dapat menambah fleksibilitas anggaran dan memungkinkan partisipasi serta kemitraan dengan sektor swasta, lembaga donor, atau masyarakat lokal. Upaya menggali sumber dana ini juga penting agar desa mampu mengembangkan kemandirian finansial, mengurangi risiko ketergantungan dana tunggal, dan mendorong proses pembangunan yang sesuai dengan karakteristik dan potensi lokal secara kontekstual. Dengan diversifikasi sumber pendanaan, desa dapat lebih leluasa merancang dan melaksanakan program pembangunan yang adaptif terhadap perubahan kebutuhan masyarakat dan dinamika ekonomi.

  • Apa bentuk inovasi sumber dana yang Bisa dilakukan desa? Faktor apa yang membuat inovasi itu berhasil/gagal?

Desa di Indonesia memiliki potensi besar untuk berinovasi dalam mencari sumber dana pembangunan di luar Dana Desa melalui berbagai bentuk kreatif yang memanfaatkan aset lokal, teknologi, dan kemitraan, sebagaimana didukung oleh Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, yang mendorong diversifikasi pendapatan untuk mencapai kemandirian fiskal. Beberapa bentuk inovasi utama meliputi pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai entitas usaha kolektif yang menghasilkan pendapatan dari sektor unggulan desa, seperti agribisnis organik (misalnya, budidaya jahe merah di Desa Sumbermulyo, Jombang, yang diekspor melalui koperasi digital), pariwisata berkelanjutan (seperti homestay dan wisata alam di Desa Nglanggeran, Gunungkidul, yang menarik wisatawan melalui platform online seperti Airbnb), atau industri kreatif berbasis kerajinan tangan (contohnya, Desa Kasongan di Bantul yang memasarkan batik dan gerabah via e-commerce Shopee untuk menjangkau pasar nasional).

Selain itu, inovasi lain mencakup kemitraan strategis dengan pihak eksternal, seperti program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan tambang atau perkebunan yang memberikan hibah infrastruktur (seperti pembangunan jalan tol desa oleh PT Freeport di Papua), crowdfunding melalui platform digital seperti Kitabisa atau GoFundMe yang memungkinkan desa menggalang dana untuk proyek spesifik seperti irigasi pintar, serta pengelolaan aset desa secara inovatif, termasuk pemanfaatan hutan kemasyarakatan untuk ekowisata atau energi terbarukan seperti panel surya komunal yang dijual listriknya ke PLN melalui skema Public-Private Partnership (PPP). Inovasi ini juga bisa berupa obligasi desa atau pinjaman lunak dari lembaga keuangan seperti Bank Desa atau program KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang diintegrasikan dengan teknologi blockchain untuk transparansi transaksi.

Namun, keberhasilan atau kegagalan inovasi tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal; faktor keberhasilan utama meliputi kepemimpinan desa yang visioner dan akuntabel (seperti kepala desa yang terlatih dalam manajemen usaha, sebagaimana di Desa Ponggok yang sukses karena inovasi wisata air berkat komitmen pemimpin lokal), partisipasi aktif masyarakat melalui musyawarah desa yang inklusif (meningkatkan rasa memiliki dan mengurangi resistensi), pemanfaatan potensi lokal yang tepat (seperti analisis SWOT desa untuk memilih sektor yang kompetitif), serta dukungan eksternal berupa pelatihan dari pemerintah daerah atau NGO seperti LP3ES yang membekali keterampilan digital dan pemasaran, ditambah monitoring berkala untuk adaptasi terhadap perubahan pasar.

Sebaliknya, faktor kegagalan sering kali berasal dari kurangnya transparansi dan potensi korupsi dalam pengelolaan dana (seperti kasus BUMDes di beberapa desa Jawa Tengah yang bangkrut karena penyelewengan oleh pengurus), keterbatasan sumber daya manusia (SDM desa yang minim pendidikan formal menyebabkan mismanajemen, misalnya kegagalan proyek pertanian hidroponik di desa terpencil akibat kurangnya pengetahuan teknis), konflik sosial internal (seperti perebutan keuntungan antar kelompok masyarakat yang menghambat kolaborasi), ketidakcocokan inovasi dengan kondisi lokal (contohnya, pariwisata di desa pegunungan yang gagal karena akses transportasi buruk dan promosi minim), serta fluktuasi eksternal seperti pandemi COVID-19 yang mengganggu rantai pasok atau penurunan harga komoditas global.

Secara keseluruhan, inovasi sumber dana desa yang berhasil tidak hanya bergantung pada kreativitas bentuknya, melainkan pada ekosistem pendukung yang holistik, sebagaimana direkomendasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang menekankan pembangunan desa berbasis data dan kolaborasi untuk memastikan keberlanjutan dan inklusivitas, sehingga desa dapat beralih dari ketergantungan subsidi menjadi entitas ekonomi mandiri yang berkontribusi pada pembangunan nasional.

  • Jika Saya Adalah Perangkat Desa, Apa Strategi Tambahan yang Bisa Dilakukan?

Sebagai perangkat desa---yaitu aparatur atau staf pendukung pemerintahan desa seperti sekretaris desa, bendahara, atau koordinator program yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan kepala desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa---saya akan mengimplementasikan strategi tambahan yang lebih operasional dan terintegrasi untuk mengoptimalkan inovasi sumber dana pembangunan, melampaui bentuk-bentuk dasar seperti BUMDes atau CSR, dengan fokus pada peningkatan efisiensi internal, adaptasi teknologi, dan penguatan jaringan eksternal guna mencapai kemandirian fiskal desa yang berkelanjutan.

Strategi pertama yang saya usulkan adalah pembentukan tim khusus inovasi dana desa (misalnya, Unit Pengelola Inovasi Keuangan Desa atau UPIKD) yang terdiri dari perangkat desa, tokoh masyarakat, dan pemuda desa, bertugas melakukan pemetaan potensi secara berkala menggunakan tools digital seperti aplikasi GIS (Geographic Information System) untuk mengidentifikasi aset idle seperti lahan tidur yang bisa dikembangkan menjadi agroforestry atau solar farm, sehingga menghasilkan pendapatan pasif melalui lisensi atau sewa, sebagaimana sukses di Desa Wonorejo, Malang, di mana tim serupa meningkatkan pendapatan 30% melalui inventarisasi aset.

Strategi kedua melibatkan peningkatan literasi keuangan dan kewirausahaan melalui program pelatihan rutin yang saya koordinasikan, bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) kabupaten atau platform online seperti Prakerja, untuk membekali warga dengan keterampilan manajemen proyek, pemasaran digital, dan akuntansi sederhana, yang tidak hanya mendukung keberhasilan BUMDes tetapi juga mencegah kegagalan akibat mismanajemen, seperti kasus di mana desa-desa gagal karena kurangnya pemahaman kontrak kemitraan; misalnya, saya akan mengadakan workshop bulanan dengan simulasi crowdfunding untuk proyek kecil seperti pengolahan limbah jadi pupuk organik yang dijual ke pasar ekspor. 

Selain itu, strategi ketiga adalah penguatan monitoring dan evaluasi berbasis data melalui dashboard digital sederhana (menggunakan Google Sheets atau aplikasi open-source seperti ODK Collect) yang saya kelola untuk melacak kinerja inovasi dana secara real-time, termasuk indikator seperti ROI (Return on Investment) dari pariwisata desa atau tingkat partisipasi masyarakat, sehingga memungkinkan penyesuaian cepat terhadap risiko seperti fluktuasi harga komoditas, dan memastikan transparansi untuk menghindari korupsi sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline